Catatan Perjalanan Swadaya XII “Pendakian Gunung Ebulobo Via Mauponggo-Mulakoli dan Penyuluhan Tanggap Bencana Gunung Berapi Kepada Masyarakat Desa Mulakoli, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur”

Kamis, 13 Juli 2017 

Perjalanan SWADAYA XI baru dimulai setelah upacara pelepasan pada malam  sebelumnya. Malam itu, di bawah naungan langit gelap, tepatnya pukul 19.15 WIB, semua  peserta SWADAYA beserta para Anggota Penuh berkumpul membentuk lingkaran di depan  sekretariat Mahasiswa Penggiat Alam SATU BUMI. Upacara pun dilaksanakan; ketua  menjelaskan rangkaian kegiatan secara umum, senior-senior memberikan pesan, forum  membahas perihal teknis keberangkatan hari esoknya, dan hymne SATU BUMI dinyanyikan  bersama-sama. Satu-persatu peserta upacara saling bersalaman dan mengucapkan pesan-pesan  pribadi. Kemudian semuanya melanjutkan kegiatan masing-masing sebelum akhirnya keenam  peserta SWADAYA melaksanakan briefing menjelang tengah malam. Kami memang berencana  untuk menginap di sekretariat agar dapat berangkat ke stasiun bersama-sama esok paginya. 

Pukul 05.00 WIB, peserta SWADAYA mulai bangun. Fauzia dan Rifqi berangkat  mencari sarapan sekaligus makan siang, sesuai kesepakatan malam sebelumnya. Kami pun  membeli nasi telur dan nasi ayam masing-masing enam bungkus, serta tak lupa membeli empat botol air mineral. Menunggu makanan ternyata lebih lama dari perkiraan, akhirnya kami berangkat dari sekretariat pukul 06.15 WIB, terlambat 15 menit dari perencanaan. Untungnya, kami tiba di Stasiun Lempuyangan pukul 06.30 WIB, 30 menit sebelum kereta berangkat.  Setibanya di stasiun, Odilo mengurus tiket sementara yang lain menunggu, kemudian semuanya  berpamitan dengan para senior yang mengantar. Selanjutnya, keenam peserta SWADAYA  masuk ke dalam kereta dan menunggu hingga kereta mulai melaju. 

Kereta Sri Tanjung melaju tepat pukul 07.00 WIB, sesuai yang tertera di tiket. Rifqi,  Ansen, dan Yusri duduk berhadapan dengan Monang, Odilo, dan Fauzia di gerbong 2. Dalam  perjalanan, kami sempat mengobrol dengan ibu-ibu paruh baya di kursi sebelah. Lalu, kami pun  sarapan sambil mengunyah keripik talas sekitar 20 menit kemudian. Perjalanan diisi dengan  obrolan di sela-sela suara pemberitahuan pemberhentian kereta. Siangnya, nasi bungkus kedua  kami lahap sebagai makan siang. Ketika sudah lelah mengobrol, kami mengisi perjalanan dengan  tidur, karena total perjalanan kereta cukup panjang yaitu 14 jam. 

Senja berangsur malam; gelap datang dan lampu di dalam kereta menyala. Pukul 20.50  WIB, kereta tiba di pemberhentian terakhir yang juga merupakan tujuan para peserta  SWADAYA, yakni Stasiun Banyuwangi Baru. Kami pun menggendong carrier masing-masing  dan turun dari kereta, lalu mampir ke toilet dan musala sebelum akhirnya meninggalkan stasiun  menuju pelabuhan. Sebelum sampai ke pelabuhan, kami berhenti di salah satu warung makan  dan mengisi perut dengan makanan dan minuman hangat pukul 21.30 WIB. Di sepanjang jalan  itu memang terdapat sejumlah warung makan. 

Sekitar setengah jam kemudian, para peserta SWADAYA berjalan lagi ke pelabuhan, lalu  mengurus tiket penyebrangan. Harga tiket anak sebesar Rp4.500,00, sedangkan harga tiket  dewasa sebesar Rp6.500,00. Kami pun berjalan ke dermaga, menaiki KMP Trisila Bhakti yang  sedang menurunkan penumpang. Tiba di atas kapal, kami meletakkan carrier dan duduk.  Sebagian menyaksikan pemandangan kilau lampu diantara gelapnya lautan malam di luar kapal.  Monang asyik kamim momen penyebrangan. 

Pukul 22.30 WIB, kapal mulai berangkat mengarungi Selat Jawa. Suara serupa klakson  dibunyikan sebanyak dua kali dari kapal. Pemandangan di luar kapal semakin meredup, seiring  kapal bergerak menjauhi pelabuhan yang benderang oleh lampu-lampu. Ombak semakin terasa  sebab lantai kapal yang kami pijak mulai bergoyang ke kanan dan ke kiri. Beruntung, tidak ada  peserta SWADAYA yang mual atau bahkan sampai muntah karena mabuk laut. Perjalanan  berlangsung selama sekitar 55 menit. Kami pun tiba di Pelabuhan Gilimanuk, Bali, pada pukul  23.25 WIB atau sama dengan 00.25 WITA. 

Jumat, 14 Juli 2017 

Tengah malam telah terlewati seiring perjalanan menempuh perbedaan waktu kami jalani. Setelah turun dari kapal feri, keenam peserta SWADAYA harus kembali melangkahkan  kaki dengan carrier di punggung masing-masing menuju terminal yang tak jauh dari pelabuhan  Gilimanuk. Sepanjang perjalanan, kami ‘disambut hangat’ oleh para pencari rezeki yang  mendekati kami silih berganti. “Mau ke mana?” “Sini, sama saya,” “Ayo, mas, sini, langsung  berangkat,” dan ucapan-ucapan serupa terlontar dengan logat khas Bali dari para sopir. Odi selaku koordinator lapangan kegiatan sosial masyarakat sekaligus koordinator transportasi  SWADAYA XI, bersikap tenang dan terus berjalan di garda terdepan dengan percaya diri. Maka,  yang lain mengikuti langkahnya dan tidak mendengarkan tawaran-tawaran sopir yang  dikhawatirkan memberi jasa dengan harga melambung. 

Ketika sedikit lagi sampai di terminal, seorang laki-laki paruh baya mendekati Odi dan  menanyakan lokasi tujuan kami. Odi menjawab bahwa kami akan menuju ke Klungkung. Bapak  itu pun mengatakan bahwa bus yang disopirinya bisa langsung membawa penumpangnya ke  Klungkung. Selanjutnya, Odi memastikan bahwa bapak itu membawa bus sesuai informasi yang  telah dicarinya sebelumnya, yaitu bus kecil dengan nama ‘BAHAGIA’. Setelah yakin bahwa  benar, kami mengikuti bapak itu. 

Tak sampai sepuluh menit dari ketika baru menapaki Gilimanuk, kami tiba di terminal.  Sang bapak hendak memasukkan carrier kami ke dalam bus, sampai saat Odi menanyakan tarif  perkepala. Bukannya langsung menyebutkan nominal, bapak itu justru berkata agar Odi  membayar tarif ‘seperti biasa’. Odi menanyakan kembali maksud perkataan itu. Bapak itu pun  menyebutkan bahwa tarif yang harus dibayar ialah Rp70.000,00. Tidak langsung menerima tarif  semahal itu, Odi menawar agar tarif dapat turun menjadi Rp50.000,00. 

Terjadilah tawar-menawar di antara kami. Yang lain hanya diam, menyaksikan  percakapan kami yang memecahkan keheningan terminal tengah malam. Karena harganya tak  juga diturunkan, kami pun menunggu di bangku terminal. Anjing-anjing kampung berkeliaran di  sekitar kami—ciri khas Bali dibandingkan tempat-tempat lain di Indonesia. Setelah cukup lama,  barulah bapak tadi kembali mendatangi kami dan bernegosiasi dengan Odi. Setelah akhirnya  saling sepakat dengan tarif Rp50.000,00 per orang, carrier-carrier pun dimasukkan dan kami menunggu bus berangkat. 

Pukul 01.42 WITA, akhirnya bus mulai melaju meninggalkan Giliamanuk. Melintasi  jalanan yang sepi, sopir membawa bus dengan cukup kencang sehingga carrier di belakang  berkali-kali jatuh dan menimpa Fauzia. Semua tidur karena lelah, kecuali Odi yang mengamati  jalan. Tibalah bus di terminal Semarapura, Klungkung, setelah sekitar 6 jam perjalanan. Sebelum  ke Klungkung, bus sempat memutar ke Padang Bai terlebih dahulu. Sesampainya di Klungkung,  kami kembali mendapat sambutan hangat, kali ini dari para sopir angkot. Namun, kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu di warung dekat terminal. Perut-perut kosong pun diisi  dengan nasi dan lauk telur serta ayam suwir dengan harga Rp10.000,00 per porsi. 

Setelah mengisi perut yang kelaparan, barulah kami kembali ke terminal dan bernegosiasi  soal tarif angkot. Tarif yang mulanya Rp30.000,00 per orang, berhasil ditawar menjadi  Rp20.000,00 per orang. Angkot merah dengan jurusan Klungkung-Menanga-Besakih itu pun  langsung sesak oleh enam penumpang dan enam carrier. Kurang lebih satu jam waktu perjalanan  kami tempuh dari terminal Semarapura hingga sampai di kantor Kepala Desa Besakih. Di Bali,  kepala desa disebut sebagai ‘Perbekel’, atau masyarakat biasa memanggil kepala desa dengan  sebutan ‘Pak Mekel’ atau ‘Pak Kel’. 

Saat baru tiba, Pak Wayan Benya, Perbekel Besakih, belum ada di lokasi. Kami baru  bertemu dan mengobrol dengan sekretaris desa. Setelah mengobrol dan disuguhi enam cangkir  kopi hangat serta snack, barulah Pak Wayan Benya datang dan menyambut kami di kantor  perbekel. Kami pun menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan SWADAYA XI selama di Besakih. Kemudian, kami ditinggalkan sebentar sebelum akhirnya diantar menuju pondokan di  Balai Banjar Kedungdung. Sistem regional di Bali memang cukup unik. Secara administratif, di  bawah ‘desa’, terdapat tingkat ‘banjar’ (semacam dusun). Kepala banjar disebut dengan klihan.  Bahkan, selain desa dinas dan banjar dinas, terdapat pula desa adat maupun banjar adat yang  telah ada sejak sebelum zaman kolonial. 

Di Balai Banjar Kedungdung, para peserta SWADAYA merapikan tempat dan  meletakkan barang-barang. Kami berkenalan dengan Klihan Kedungdung, pria muda dengan tato  di sekujur lengannya—dan ternyata juga di badannya—yang kemudian meminta tolong kami untuk menyambungkan kabel lampu di tempat itu. Di Balai Banjar Kedungdung, terdapat  lapangan bulu tangkis, lengkap bersama netnya, yang biasa digunakan warga sekitar setiap hari.  Mulai dari anak-anak, hingga orang dewasa. Selain itu, rupanya tim SWADAYA datang di saat  sedang dilaksanakan Pekan Olahraga dan Seni Desa (Porsenides), sehingga sore nanti, balai akan  digunakan sebagai tempat lomba bulu tangkis antar banjar. Kami sendiri mendapat sebuah  ruangan kecil yang bersebelahan dengan gudang di dalam balai banjar sebagai tempat untuk  tidur. Tetapi sebelum disediakan ruangan, siang itu kami beristirahat di panggung yang terletak  di bagian barat banjar. 

Saat Monang, Odi, Yusri, dan Ansen beristirahat di balai banjar karena kelelahan, Fauzia  dan Rifqi keluar untuk mengobrol dengan pemuda-pemuda yang menjaga di pos karcis masuk  Besakih. Usai mengobrol dengan para pemuda, Rifqi kembali ke balai banjar sedangkan Fauzia  pergi ke warung depan. Di warung depan, Fauzia berkenalan dengan anak perempuan yang  tinggal di belakang warung itu. Gadis bernama Sukasih yang baru menginjak bangku Sekolah  Menengah Pertama (SMP) itu mengajaknya berkeliling dengan menggunakan sepeda motor ke  banjar-banjar di sekitar Kedungdung. Kami mengunjungi teman Sukasih yang bernama Suniasih,  siswi kelas satu SMA, yang baru usai membantu orang tuanya mencari rumput untuk sapi kami yang dipelihara di belakang rumah. Masyarakat Desa Besakih memang biasa ke hutan untuk  mencari rumput yang kemudian diberikan sebagai makanan sapi. 

Namun, karena berkeliling terlalu lama, akhirnya Fauzia kembali ke balai banjar terlalu  sore. Yusri, Odi, Ansen, Monang, dan Rifqi rupanya tidak berada di balai banjar, melainkan  sedang menonton pertandingan futsal yang diselenggarakan di lapangan belakang balai banjar  dalam rangka PORSENIDES. Selepas pertandingan futsal, kami kembali ke balai banjar. Kali ini  waktunya pertandingan bulu tangkis dan Rifqi ditugaskan menjadi salah satu linesman. Sembari  menunggu, Fauzia dan Odi membeli makanan di warung ‘Nyoman’ yang terletak tepat di sebelah  utara balai banjar. Ketika menanyakan harga, kami baru mengetahui bahwa sistem pembelian  makanan di warung-warung sekitar Besakih—entah apakah sama untuk seluruh Bali—adalah  menyesuaikan pembeli. Pembeli bisa membeli nasi dengan ayam suwir seharga Rp5.000,00;  Rp8.000,00; Rp10.000,00; atau Rp15.000,00. Selanjutnya, penjual tinggal menyesuaikan  porsinya dengan harga yang diminta. 

Pertandingan bulu tangkis pun berakhir. Kami masuk ke dalam ruangan yang menjadi  ruang kamar kami untuk menyantap nasi ayam suwir yang telah dibeli di warung Nyoman  sebelumnya. Makanan terasa begitu lahap karena kami melewatkan makan siang di hari itu.  Kemudian, kami membereskan peralatan makan dan sebagian pergi ke kamar mandi di seberang  balai, sebab air di balai tersebut belum diisi. Pukul 20.30 WIB, I Komang Kayun, ketua  koordinator pramuwisata bidang pendakian menghubungi Odi dan mengajak bertemu di depan  balai banjar. Pria paruh baya berambut panjang yang kerap disapa sebagai Bli Komang ini datang ke depan balai banjar dengan mengendarai motor bersama istri dan anak-anaknya;  menyapa hangat Odi, Rifqi, dan Fauzia yang menemuinya. Bli Komang memberitahu bahwa  kami dipersilakan untuk ke rumahnya pada hari berikutnya, untuk menyiapkan pendakian yang  akan dilaksanakan pada tanggal 16-17 Juli 2017. Setelah selesai mendiskusikan rencana hari  esok, Bli Komang dan keluarga pun meninggalkan kami. Ketika seluruh kegiatan pada akhirnya  selesai, kami melakukan evaluasi dan briefing bersama-sama. 

Sabtu, 15 Juli 2017 

Pagi itu, kami bangun menjelang pukul tujuh, cukup terlambat dari waktu yang  ditentukan malamnya. Sesuai yang direncanakan, Fauzia pergi ke luar balai dengan mengenakan  jaket—karena udara cukup dingin meskipun langit lebih cerah—untuk mencari pedagang sayur  keliling, mengingat letak pasar sangat jauh untuk dicapai dengan berjalan kaki. Karena pedagang  sayur tak kunjung datang, Fauzia berjalan-jalan ke arah utara dan melihat pemandangan Gunung  Agung di bawah birunya langit. Sambil berkeliling, ia berbasa-basi dengan ibu-ibu paruh baya  yang tinggal di dekat balai. 

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya pedagang sayur datang juga. Namun, rupanya  hanya sedikit ragam sayur yang tersedia. Tidak semua kebutuhan yang telah dirancang dapat  terpenuhi karena pedagang keliling hanya menjual sayur-mayur yang dirasa memiliki harga  murah. Selain sayur-mayur, para pedagang keliling yang mengendarai sepeda itu juga menjual  aneka jajanan pasar, sebagian buah-buahan,tempe dan tahu, serta daging ayam dan babi. Fauzia  membeli sebagian sayur-mayur dan bumbu untuk konsumsi pendakian yang mulai dilaksanakan  di hari berikutnya, kemudian kembali ke balai dan bertemu dengan Yulian, Mahasiswa Pecinta  Alam Loka Samgraha Universitas Pendidikan Ganesha, Bali. Gadis asal Banyuwangi yang saat  ini sedang berkuliah dan tengah menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Klungkung ini memang  sudah berencana untuk mendatangi dan bertemu rombongan peserta SWADAYA di Kedungdung  sejak hari sebelumnya. Tak disangka pula, pagi itu, Yulian membawakan nasi jinggo untuk  sarapan kami. 

Selama hampir satu setengah jam, kami mengobrol tentang banyak hal. Mulai dari  kegiatan kepecintaalaman masing-masing organisasi, hingga kebiasaan-kebiasaan di Bali yang  ingin kami ketahui; mulai dari upacara keagamaan sampai kuliner khas Bali. Setelah itu, para  peserta SWADAYA mulai menyiapkan logistik untuk pendakian serta melengkapi konsumsi  yang masih kurang. Pukul 11.53 WIB, Odi dan Fauzia berangkat ke rumah Perbekel untuk  meluruskan kembali mengenai tujuan kegiatan SWADAYA selama beberapa hari ke depan,  keluaran apa yang akan dihasilkan, sekaligus berpamitan karena kami akan meninggalkan  Kedungdung untuk melakukan pendakian dari titik start Embung Besakih yang terletak tak jauh  dari rumah Bli Komang. Kemudian, Odi dan Fauzia tak lupa untuk menjelaskan bahwa setelah  pendakian dilakukan dan data telah lengkap terkumpul, kami bermaksud melakukan presentasi  dengan Perbekel dan perangkatnya untuk menjelaskan apa hasil kegiatan kami selama beberapa  hari berkegiatan di Desa Besakih. Dari penjelasan tersebut, kami mengajukan tanggal presentasi,  hingga akhirnya disepakati bahwa presentasi akan dilaksanakan pada tanggal 20 Juli 2017, pukul  09.00 WIB di kantor perbekel. Usai menuntaskan agenda pembicaraan dengan Perbekel selama  kurang lebih satu jam, Odi dan Fauzia meninggalkan rumah Perbekel dan kembali ke balai  banjar.

Sementara itu, Yusri, Ansen, Rifqi, dan Monang merapikan ruang tidur kami di balai  banjar agar ditinggalkan dalam kondisi baik. Kami juga menyiapkan packing logistik dan  konsumsi sesuai dengan pembagian tugas pada briefing di malam sebelumnya. Pukul satu siang,  saat Odi dan Fauzia telah tiba di balai banjar, barulah kami melaksanakan makan siang dengan  masakan sendiri. Lalu, kami bersiap-siap dan akhirnya berangkat dengan mobil pick-up sewaan  ke rumah Bli Komang yang terletak di Banjar Temukus. Sepanjang perjalanan, kami melewati  kompleks Pura Besakih dan pepohonan yang masih rindang di kanan kira jalan. Mobil hitam  yang mengangkut enam orang, lengkap beserta enam carrier-nya itu melewati jalanan yang  berkelak-kelok dan semakin lama semakin tinggi. Hampir satu jam kemudian, kami baru tiba di  rumah Bli Komang. 

Rumah itu terletak di bawah Embung Besakih dan kebun pembudidayaan edelweis.  Bukan hanya rumah keluarga yang dibangun sesuai dengan asta kosala kosali, di sana terdapat  pula warung yang berjarak beberapa langkah dari rumah. Warung itu menjual sebagian makanan  dan minuman instan. Biasanya, pendaki bersiap-siap naik atau beristirahat setelah turun dari  Gunung Agung di bangku-bangku yang terdapat di warung tersebut. Mobil yang parkir di depan  warung, meninggalkan kami bersama Bli Komang dan keluarganya yang sudah siap menyambut  di warung. Kami pun diarahkan ke rumah Bli Komang dan ditunjukkan tempat istirahatnya.  Sebuah pendopo kecil di selatan pura keluarga dapat kami gunakan sebagai tempat menaruh  barang dan beristirahat. Namun, setelahnya kami dipersilakan untuk tidur di dalam kamar karena  udara akan terasa sangat dingin pada malam hari. 

Carrier dan peralatan lainnya telah kami letakkan di pendopo tersebut. Sambil menunggu  hari berganti, kami pun mengobrol dengan Bli Komang di areal semiterbuka dalam rumah. Bli  Komang menjelaskan banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Bali, mulai dari  aturan dalam membangun rumah—bahwa rupanya, pura keluarga dibangun menghadap ke  Gunung Agung dan ke timur (arah matahari terbit sebagai simbol perwujudan Dewa Siwa),  bagaimana keterikatan masyarakat Bali dengan adat untuk meneruskan tanah keluarga, dan  sebagainya. Setelah ditelisik pun kami baru mengetahui bahwa ternyata koordinator guide Gunung Agung ini merupakan seorang pemangku atau jro mangku, yaitu pemikul tanggung  jawab sebagai pelayan Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan masyarakat. Maka,  kami tak lagi heran mengapa beliau juga amat mengerti tentang keagamaan Hindu, termasuk  makna filosofis dan sejarahnya. 

Kemudian, kami pun berjalan-jalan di sekitar rumah Bli Komang. Menuju senja, kami bermain di sekitar Embung Besakih yang terletak tak jauh di atas kebun pembudidayaan  edelweis bersama Bagus, putra Bli Komang yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).  Saat matahari telah tergelincir di bawah horizon, kami kembali ke rumah untuk kemudian masak,  makan, dan kembali mengobrol dengan Bli Komang. Selain bercerita tentang cerita unik Bali  yaitu leak, beliau juga menjelaskan tentang pendakian di hari berikutnya. Beliau memberitahu  pada para peserta SWADAYA bahwa kami akan mendaki dengan ditemani Bli Wayan Suthe,  guide yang tinggalnya bertetangga dengan Bli Komang. Dengan secarik kertas dan sebuah pena,  Bli Komang juga memberi gambaran mengenai jalur dan tempat camp yang akan kami tempuh  dalam pendakian besok. Setelah merasa cukup dan lelah karena waktu semakin malam, kami pun  mengakhiri pembicaraan, melakukan evaluasi dan briefing, kemudian tidur di dalam salah satu  kamar yang disediakan oleh Bli Komang.

Minggu, 16 Juli 2017 

Pada hari pertama pendakian, para peserta SWADAYA bangun pukul 05.30 WITA.  Kami langsung berbagi tugas untuk memasak, mempersiapkan logistik untuk dibawa dan  mendokumentasikan pemandangan di sana. Kami selesai memasak dan mulai sarapan pada pukul  07.15 WIB. Setelah selesai sarapan, kami langsung membereskan tempat kami bermalam dan  langsung bergegas untuk memulai pendakian. Kami berkoordinasi dengan Bli Komang mengenai  pendakian kami. Namun, ternyata Bli Komang mendapat undangan mendadak untuk rapat  koordinasi di kecamatan sehingga beliau tidak dapat mengantarkan kami selama pendakian. Oleh  sebab itu beliau meminta tolong kepada Bli Wayan Suthe untuk mengantarkan kami selama  pendakian. Setelah berdoa dan briefing bersama Bli Komang dan Bli Wayan, kami memulai  pendakian pukul 08.40 WITA. Pendakian dimulai dari basecamp rumah Bli Komang. 

Di awal pendakian, para peserta SWADAYA melewati embung atau tempat penampung  air hujan. Embung tersebut digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu,  kami banyak melewati ladang-ladang warga. Rata-rata ladang di sana ditanami dengan bunga  edelweis, gemitir, dan pecah seribu. Namun tidak jarang warga yang menanam kubis di  ladangnya. Selain itu banyak warga yang beternak sapi. Namun, sapi di sini tidak untuk  dikonsumsi, tetapi digunakan untuk dipersembahkan saat upacara adat. Selama pendakian ini  kami juga menanyakan berbagai informasi mengenai Gunung Agung. 

Kondisi jalur di satu jam pertama relatif datar, tidak terlalu menanjak. Vegetasinya pun  terbilang terbuka, didominasi ilalang dan pohon albisia. Tidak jarang kami bertemu warga yang mengambil rumput untuk ternak-ternak kami. Setelah berjalan selama 1 jam, pada pukul 09.55 WITA, kami menemukan tempat yang dapat digunakan sebagai shelter dan terdapat pelinggih.  Tempat tersebut berada pada koordinat 08º21’25,4” LU dan 115º28’29,5” BT. Tempat tersebut  muat untuk 1 tenda. Di sana Bli Wayan sembahyang dan menaruh canang, kami pun juga berdoa  menurut keyakinan masing-masing untuk meminta izin. 

Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan. Kondisi jalur masih sama relatif datar, namun  vegetasi mulai lebat. Vegetasi yang tumbuh di sana didominasi tumbuhan paku, lemputu, dan  pinus. Pada pukul 10.55 kami menemukan pertigaan dan mengambil ke kiri. Tidak jauh dari  pertigaan tersebut, terdapat sungai musiman. Saat kami melewati sungai tersebut, aliran airnya  tidak ada, karena pada saat itu adalah musim kemarau. Sekitar 15 menit setelahnya kami menemukan shelter. Shelter tersebut juga hanya dapat digunakan untuk 1 tenda. 

Pada pukul 11.34 WITA, para peserta SWADAYA bertemu dengan sebuah pertigaan yang terdapat pelinggih di tengah-tengahnya. Pertigaan tersebut merupakan titik temu jalur yang  kami lewati, yaitu yang dimulai dari Embung Datah II, dengan jalur yang dimulai dari Pura  Pengubengan. Pertigaan pelinggih ini—selanjutnya akan disebut sebagai Pelinggih 2—berada  pada koordinat 08º21’01,7” LU dan 115º28’42,3” BT. Di sana, Bli Wayan kembali sembahyang dan menaruh canang. Jalan di sekitar Pelinggih 2 cukup licin karena medan yang agak  berlumpur. Tiga puluh menit kemudian, kami istirahat dan makan snack

Perjalanan dilanjutkan pada pukul 12.13 WITA. Kondisi medan menjadi lebih menanjak  dari sebelumnya. Vegetasi menjadi lebih didominasi hutan pinus. Di tengah perjalanan, kami sempat bertemu dengan rombongan warga yang melakukan upacara adat. Rombongan tersebut  mengambil air suci dari Tirta Giri Kusuma dan bertemu dengan para peserta SWADAYA pada saat rombongan tersebut turun. Seluruh rombongan yang terdiri dari sekitar 30 orang ini berpakaian serba putih.  

Pukul 13.30 WITA, para peserta SWADAYA bertemu pertigaan yang mengarah ke Tirta  Giri Kusuma. Akhirnya kami memutuskan untuk membagi tugas, dimana sebagian tim masak  untuk makan siang, sedangkan Odi, Monang, dan Bli Wayan menuju Tirta Giri Kusuma untuk  melakukan pengumpulan data. Perjalanan dari pertigaan ke mata air suci Tirta Giri Kusuma  sekitar 30 menit. Tirta Giri Kusuma sendiri berasal dari kata tirta yang berarti ‘air’, giri yang  berarti ‘gunung’, dan kusuma yang berarti ‘menyempurnakan’. Tirta Giri Kusuma merupakan  salah satu dari sembilan tirta suci yang berada dalam kompleks Pura Agung Besakih. Mata air  suci tersebut berada di sebelah sungai musiman, pada koordinat 08º20’48,3” LU dan  115º28’58,7” BT. Namun ternyata mata air tersebut tidak memiliki banyak air. Alirannya hanya  sedikit sehingga biasanya warga yang mengambil air untuk adat, cukup mengambil sekitar 1  botol kecil saja dalam satu rombongannya. Di Tirta Giri Kusuma juga terdapat Pura Giri Kusuma  sehingga Odi, Monang, dan Bli Wayan sembahyang di sana. Namun karena sering digunakan  dalam untuk adat dan sembahyang, lingkungan di sekitar pura tersebut menjadi kotor dengan  sampah-sampah bekas sesajen. Setelah observasi dan menggali data di sana dirasa cukup, Odi,  Monang, dan Bli Wayan kembali ke pertigaan untuk makan siang. 

Makan siang selesai dilaksanakan pada pukul 14.30 WITA. Perjalanan pun dilanjutkan dengan tujuan tempat camp. Kondisi medan berikutnya beraneka macam, mulai dari tanah, pasir,  dan kadang melewati bebatuan. Vegetasi pun mulai jarang, didominasi tanaman perdu dan  lamtoro. Kami sampai di Camp 1 pukul 15.45 WITA. Tempat ini berada pada 08º20’37,1” LU  dan 115º29’10,1” BT dan berkapasitas 2-4 tenda. Kemudian kami langsung melanjutkan  perjalanan agar tidak terlalu malam saat sampai di tempat camp target kami. 

Pada pukul 17.05 WITA, perjalanan telah mencapai Camp 2. Tempat ini berada pada  08º20’33,2” LU dan 115º29’24,8” BT dan berkapasitas 3-5 tenda. Dari Camp 2, tebing tempat  Kori Agung sudah terlihat. Jarak dari Camp 2 ke Kori Agung hanya sekitar 15 menit. Di Kori  Agung ini terdapat pelinggih sehingga Bli Wayan sembahyang dan menaruh canang di sini.  Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Kori Agung merupakan gerbang untuk menuju ke  kerajaan dewa di Gunung Agung. Kori Agung berada tepat di sebelah tebing tinggi pada  08º20’33,2” LU dan 115º29’24,8” BT. Kori Agung ini juga menjadi batas kondisi medan,  dimana pada kondisi sebelumnya medan berupa tanah dan kadang pasir, namun setelah Kori  Agung medan menjadi tanah cadas dan batu-batuan.

Setelah itu, keenam peserta SWADAYA melanjutkan perjalanan dengan membagi 2 tim,  yakni Odi, Rifqi, Fauzia dan Bli Wayan sebagai tim yang berjalan duluan agar bisa mendirikan  tenda, serta Monang, Ansen, dan Yusri sebagai tim yang mengambil dokumentasi matahari  tenggelam di belakang. Senja itu, matahari memang meredup dengan bias lembayung yang amat  indah. Sinarnya yang menerpa pepohonan dan semak Gunung Agung, serta bundar matahari  yang perlahan lenyap ditelan barisan awan di ketinggian, membuat pemandangan senja itu begitu  sayang apabila dilewatkan. Usai memotret untuk mendapatkan bahan timelapse, Monang, Ansen,  dan Yusri berjalan menyusul ketiga rekan dan guide pendakiannya. 

Para peserta SWADAYA mulai membangun tenda pukul 18.00 WITA. Bli Wayan  membantu kami dalam menyiapkan tempat untuk membangun tenda karena tempatnya yang  sempit. Camp 3 berada pada 08º20’32,7” LU dan 115º29’34,4” BT dan hanya bisa digunakan  untuk satu tenda saja. Tempat kemah ini berada di suatu rekahan sehingga cukup aman dari  terpaan angin. Lalu, kami memasak pukul 19.30 WITA dan mulai makan malam pada pukul  21.30 WITA. Setelah makan, kami melakukan evaluasi dan briefing, kemudian istirahat. Karena  hanya muat untuk satu tenda, maka satu tenda tersebut hanya diisi oleh lima orang, sementara  Monang memilih tidur di teras tenda bersama dengan Bli Wayan. 

Senin, 17 Juli 2017 

Pada hari kedua pendakian Gunung Agung via Jalur Besakih, para peserta SWADAYA  bangun pukul 05.00 WIB dan mempersiapkan logistik yang akan dibawa untuk ke puncak. Odi,  Fauzia, Ansen, Monang, dan Bli Wayan berangkat pukul 05.50 WIB, sementara Rifqi bertugas  untuk menjaga tenda dan masak nasi. Medan menuju ke puncak terbuka dengan medan tanah  cadas. Vegetasi yang tumbuh di daerah itu hanya bunga edelweis. 

Gunung Agung memiliki tiga puncak, dimana Puncak 3 merupakan puncak tertinggi dan  letaknya tepat di bibir kawah Gunung Agung. Setelah mendaki tanpa beban kecuali sebuah  carrier yang berisi logistik keperluan summit, kami sampai di Puncak 1 pada pukul 06.45 WITA.  Puncak 1 berada pada 08º20’30,8” LU dan 115º29’43,1” BT dan dari sini keseluruhan daerah di  sekitar Gunung Agung sudah mulai terlihat. Kemudian, perjalanan menuju Puncak 2 dilanjutkan. Pada pukul 07.00 WITA, Puncak 2 yang berada pada 08º20’25,2” LU dan 115º29’54,4” BT ini  telah kami capai. Di tempat ini, terlihat jelas Gunung Rinjani, Gunung Batur, Gunung Raung,  Bukit Kintamani, Bukit Abang, dan Danau Batur. Dari Puncak 2, tim dibagi menjadi 2 yaitu 

Yusri dan Ansen yang memutuskan untuk tetap tinggal di Puncak 2, sedangkan Fauzia, Odi, dan  Monang menuju ke Puncak 3. Kami bertiga sampai di Puncak 3 pukul 07.50 WITA. Puncak ini  berada pada 08º20’29,3” LU dan 115º30’11,9” BT dan berada tepat di pinggir kawah. Dari  Puncak 3, keseluruhan kawah dan lautan di utara Pulau Bali, serta Gunung Rinjani di sebelah  timur terlihat dengan jelas apabila cuaca mendukung.

Kelima peserta SWADAYA serta Bli Wayan berkumpul kembali di Puncak 2. Kami berfoto bersama serta mengganjal perut dengan wafer dan susu hangat. Setelah puas berada di  sana, kami turun ke tempat camp pukul 08.20 WITA. Kami sampai di tempat camp pukul 09.00  WITA, kemudian langsung memasak dan membereskan tenda. Kegiatan dilanjutkan dengan  sarapan yang kami habiskan pukul 10.15 WITA, lalu kami langsung packing untuk persiapan  turun. Kami mulai turun pada pukul 10.45 WITA. 

Berdasarkan diskusi dalam evaluasi pada malam sebelumnya, kami berusaha untuk turun  dengan cepat dan menghemat penggunaan air. Sebab, pada saat naik di hari sebelumnya, kami terlalu sering istirahat serta boros air. Kami turun dengan cepat dan sampai di Kori Agung pada  pukul 11.30 WITA, kemudian sampai di Camp 1 pukul 11.45. Namun, di tengah perjalanan, salah satu peserta SWADAYA XI, Fauzia, mengalami masalah pada sepatunya dan cedera pada  bagian pinggang sehingga ia tidak bisa turun dengan cepat. Sepatu Fauzia pun jebol, terpaksa ia  melanjutkan perjalanan dengan sandal gunung. Kemudian, para peserta SWADAYA membagi  beban dengan membawakan carrier Fauzia secara bergantian agar bisa turun dengan lebih cepat.  Kami sempat sering terbagi menjadi dua ketika perjalanan turun karena kecepatan yang berbeda. 

Keenam peserta SWADAYA serta Bli Wayan sampai di Pelinggih 2 kemudian istirahat  makan snack di sana pada pukul 16.30 WITA. Setelah itu, Bli Wayan bersedia membawakan  carrier Fauzia dan kami pun melanjutkan perjalanan turun. Kami berjalan turun secara beriring iringan, namun kami terbagi lagi menjadi 2 dan sampai basecamp pada pukul 19.00 dan 19.15 WITA. Sesampainya di basecamp, kami beristirahat di warung tempat Bli Komang sambil  membeli makanan dan minuman. Pukul 20.15 WITA, kami mulai masak dan sebagian  membersihkan diri secara bergantian. Akhirnya kami makan malam pada pukul 21.45 WITA.  Setelah selesai makan malam, kami melakukan evaluasi dan briefing untuk keesokan hari, lalu  beristirahat. 

Selasa, 18 Juli 2017 

Pagi itu, para peserta SWADAYA bangun pukul enam pagi kemudian langsung  membereskan diri dan barang-barang. Sebab, kami akan kembali dari rumah Bli Komang ke  balai banjar Kedungdung. Kami telah menghubungi Bli Wayan, guide pendakian kemarin, untuk  mengantar kami dengan menggunakan mobil pick-up. Namun ternyata pick-up tidak bisa  mengantar tepat waktu karena Bli Wayan sedang mengambil rumput. Akhirnya, untuk  mengoptimalkan waktu, kami memasak nasi terlebih dahulu. Sehingga, kami tinggal membeli  lauk dan sayur ketika di bawah. 

Pukul 09.10 WITA, pick-up yang mengangkut keenam peserta SWADAYA dan carrier nya mulai berangkat dari Banjar Temukus menuju Banjar Kedungdung. Hanya dua puluh menit  perjalanan, kami telah tiba di balai banjar. Sesampainya, kami langsung melakukan pekerjaan  sesuai pembagian tugas pada briefing di malam sebelumnya. Fauzia dan Ansen membelikan ikan  mujair bumbu nyat-nyat dan capcai, masing-masing dua porsi untuk dimakan berenam.  Selanjutnya, kami pun memakan makanan tersebut dengan lahap.

Setelah makan, Fauzia dan Monang pergi mengumpulkan data yang belum terkumpul di  Pura Pengubengan. Kami berangkat dengan meminjam motor warga yang rumahnya berada di  dekat balai banjar, kemudian menemui pemangku di Pura Pengubengan. Monang asyik  mendokumentasikan setiap momen dari luar hingga ke dalam pura. Pura Pengubengan terdiri  dari tiga bagian utama, yaitu purian (tempat persembahyangan utama yang berada di bagian  dalam), jaba tengah (terletak di bagian tengah), dan jaba pisan (luar). Sebenarnya, tidak  sembarang orang boleh masuk ke dalam purian. Tetapi, karena pemangku mengizinkan dan  bersedia menemani ke dalam, kami pun boleh masuk ke dalam purian

Pada mulanya, Pura Pengubengan terdiri dari 1 pelinggih, 1 meru (bangunan tinggi yang  memiliki atap bertingkat), dan 2 bale tengah. Menurut pemangku, pura ini baru dipugar,  direnovasi, dan dibangun menjadi lebih besar serta lengkap pada tahun 2008. Seperti pura pada  umumnya, struktur utama bangunan Pura Pengubengan terbuat dari batu, kayu, dan atapnya dari  ijuk. Pada beberapa bagian, terdapat busana pura berupa kain putih-kuning, perada (terletak di  atas atap pura), serta payung. Penguasa yang bersemayam di pura ini adalah Naga Taksaka. Di  gerbang yang membatasi purian dan jaba tengah, serta di tangga menuju meru 11 tingkat,  terdapat ukiran berbentuk sepasang naga. 

Selesai mengumpulkan data, Fauzia dan Monang kembali ke balai banjar kemudian  melanjutkan melengkapi data kebudayaan jalur Besakih. Makan siang terlewati karena hari  semakin sore dan kami belum sempat memasak. Yusri keluar membeli snack untuk dimakan  bersama sebagai pengganjal perut. Para peserta SWADAYA pun lanjut memasak untuk makan  malam, kemudian melakukan evaluasi dan briefing, serta beristirahat. 

Rabu, 19 Juli 2017 

Mentari pagi terbit; tempias sinarnya jatuh di pelataran pura depan balai banjar  Kedungdung. Pukul enam pagi, Fauzia dan Yusri telah berada di rumah tetangga untuk  berbelanja pada tukang sayur keliling yang berhenti di rumah tersebut. Sementara itu, peserta  SWADAYA lainnya memasak nasi, lauk, dan sayur untuk sarapan pagi itu. Ketika keluar dari  balai, kami bertemu dengan keramaian masyarakat desa menuju lapangan. Rupanya, pukul 7.30  WITA akan diadakan gotong royong untuk menjaga kebersihan lapangan usai digunakan pada  rangkaian acara PORSENIDES. Maka, Odi, Monang, dan Rifqi ikut membatu gotong royong di  lapangan sampai selesai. Sementara itu, Ansen memasak nasi dan menyiapkan sarapan di dalam  balai banjar. Barulah pada pukul 09.45 WITA, keenam peserta SWADAYA menikmati sarapan  setelah sebelumnya telah mengganjal perut dengan jajanan pasar yang ikut dibeli saat belanja  bahan makanan. 

Usai sarapan, Monang dan Yusri berangkat ke Puri Dalem Pura untuk mendokumentasi  upacara yang sedang diadakan dalam rangka rerainan (hari suci) Kajeng Kliwon Enyitan.  Namun, ternyata tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam pura saat upacara keagamaan  berlangsung, sehingga kami tidak jadi mendokumentasi upacara adat tersebut. 

Kemudian, supaya mengetahui langsung keadaan lokasi yang sekiranya bisa dipasangi  infografis dari kebudayaan di sepanjang Jalur Besakih—output SWADAYA yang sebelumnya  telah direncanakan untuk diletakkan di Desa Besakih—Odi dan Rifqi berangkat menuju pos polisi dekat titik start pendakian menggunakan motor yang dipinjam dari warga sekitar. Kami juga melakukan survei dengan memeriksa tempat-tempat sekitar, agar sekiranya terdapat  alternatif lokasi pemasangan infografis lainnya. Sementara itu, di balai banjar, dilakukan rekap  data kebudayaan Jalur Besakih dengan menuliskan informasi yang direkam dari pembicaraan  dengan guide pada saat pendakian di hari sebelumnya. 

Setelah Odi dan Rifqi telah kembali dari survei, kami pun makan siang dengan masakan  yang telah disiapkan pukul 11.30 WITA tadi. Kemudian, kegiatan kami dan merapikan data  kembali dilanjutkan sedangkan Monang pergi untuk mendokumentasikan hutan desa dan Pura  Pengubengan bersama Yusri. Memang, sebelumnya Monang sudah mengambil gambar Pura  Pengubengan yang eksotis. Akan tetapi, saat itu cuaca mendung sehingga gambar yang diambil  kurang bagus. Sehingga, Monang memutuskan untuk kembali mengambil gambar siang itu. 

Malamnya, setelah semua telah berkumpul kembali di balai banjar setelah kegiatan  masing-masing sesuai briefing pada hari sebelumnya, merupakan waktunya menikmati makan  malam. Kemudian, kami membicarakan hasil survei lokasi penempatan infografis. Di pos polisi  yang telah dibicarakan sebelumnya belum terdapat peta informatif. Namun, di sekitar sana  terdapat kios-kios yang memenuhi tempat sehingga belum ditemukan tempat yang cocok untuk  memasang infografis. Selain pos polisi, alternatif tempat lainnya adalah di basecamp Pengubengan (pos kecil sebelum memulai pendakian melalui Pura Pengubengan). Tempat itu  memungkinkan untuk dipasangi infografis, namun kekurangannya, di sana sepi pengunjung.  Maka dari itu, malam nanti kami perlu membahas beberapa hal dengan Bli Komang.  Sebelumnya, kami telah membuat janji untuk bertemu Bli Komang malam ini. Tetapi karena Bli  Komang belum juga datang, kami memutuskan untuk melakukan evaluasi terlebih dahulu. 

Rupanya, di tengah evaluasi, Bli Komang datang ke balai banjar. Suara mesin motor yang  menderu, memecah keheningan malam Banjar Kedungdung yang selalu seperti itu setiap saat— sejauh yang kami rasakan selama beberapa hari ini, malam selalu sepi. Kami pun menghentikan  evaluasi dan segera ke depan balai banjar untuk menyambut Bli Komang. Bli Komang  tersenyum hangat dengan mata meneduhkan; ia mengenakan pakaian serbaputih di balik jaket  hitamnya. Pakaian itu sama seperti pakaian yang dikenakan rombongan masyarakat serta  pemangku yang kami temui ketika sudah dekat dengan Tirta Giri Kusuma pada pendakian yang  lalu. 

Bli Komang, Odi, Ansen, Yusri, dan Fauzia duduk di panggung depan kamar kami,  memulai pembicaraan. Monang pun menyiapkan teh hangat untuk diserahkan kepada Bli  Komang. Pembicaraan dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai informasi kebudayaan  di sepanjang jalur Besakih yang masih belum didapat dari guide. Bli Komang pun menjawabnya  secara lengkap, bahkan terkadang pembicaraan sampai melebar kemana-mana. Obrolan malam  itu menjadi cukup panjang dan luas, hingga malam berangsur larut dan akhirnya semua  kebutuhan informasi terpenuhi sehingga obrolan dapat disudahi. 

Selanjutnya, seluruh peserta SWADAYA berfoto bersama Bli Komang di dalam balai  banjar, karena pada hari-hari sebelumnya kami lupa untuk berfoto bersama. Kemudian, Bli  Komang pun pamit dan kembali ke rumahnya. Keenam peserta SWADAYA kembali ke dalam  kamar; melanjutkan evaluasi dan briefing yang sempat terhenti karena kedatangan Bli Komang  tadi. Kami pun sekaligus melengkapi informasi yang baru saja diperoleh dari Bli Komang dalam pembicaraan barusan.

Setelah itu, para peserta SWADAYA baru menyadari sesuatu hal yang penting. Besok  merupakan hari presentasi dan kami belum merumuskan serta menyiapkan apa saja yang perlu  dipresentasikan. Maka, malam itu kami segera mengebut membagi tugas. Pertama-tama, kami merumuskan apa saja yang akan dipresentasikan esoknya. Setelah garis besar isi penyampaian  telah terbentuk, Odi yang akan menjadi presenter berlatih melakukan presentasi di hadapan Yusri  dan Ansen, untuk mengetahui berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk  menyampaikan hasil kegiatan kami selama beberapa hari di Desa Besakih. Sementara itu, Fauzia  mengerjakan desain gambaran infografis yang akan kami hasilkan nantinya. 

Kamis, 20 Juli 2017 

Sekitar pukul satu pagi, Odi baru tidur setelah yang lainnya sudah lebih dulu pergi ke  alam mimpi; sedangkan sekitar pukul tiga pagi Fauzia akhirnya tidur juga. Pagi itu, kami sarapan  dengan nasi jinggo seharga lima ribu rupiah perbungkus yang dibeli di warung seberang  lapangan yang tak jauh dari balai banjar. Yusri mengambil sejumlah gorengan dan air mineral  gelas sebagai snack yang akan dibagikan kepada perangkat desa pada presentasi nanti. Kami pun  juga bersiap-siap untuk pergi dengan memasukkan semua barang bawaan ke carrier masing-masing, serta merapikan kamar dan ruangan yang akan kami tinggalkan. Kemudian, kami mengunci ruangan dan mengantarkan kuncinya ke Klihan Kedungdung sekaligus berpamitan. 

Kami pun menunggu angkot yang akan mengantarkan ke kantor perbekel. Pada hari  sebelumnya, Odi memang sudah menghubungi angkot merah yang mengantar kami ketika baru  sampai di Klungkung tersebut. Menurut kesepakatan kami, seharusnya angkot tiba di balai banjar  pukul 8.00 WIB. Namun, meski waktu telah menunjukkan pukul delapan lewat dan keenam  peserta SWADAYA telah siap, yang ditunggu belum juga datang! Tentu ini membuat kami semua harap-harap cemas, karena sebelumnya sudah membuat janji dengan Perbekel untuk  melakukan presentasi sekitar pukul 9 pagi. Berkali-kali, Odi mencoba menelepon, menghubungi  sopir angkot tersebut. 

Ketika panggilan diangkat, sopir angkot mengatakan bahwa terdapat kecelakaan di  Menang, sehingga ia akan terlambat tiba di balai banjar. Karena tidak bisa melakukan apapun,  kami diam saja menunggu angkot sambil beristirahat di balai banjar. Tak lupa, kami juga  menghubungi Perbekel, menyatakan bahwa kemungkinan terjadi keterlambatan untuk sampai di  kantor perbekel. Hingga satu jam setelah waktu yang ditentukan, akhirnya angkot datang juga.  Kami segera memasukkan keenam carrier dan diri masing-masing ke dalam angkot, lalu  berangkat dari balai banjar sekitar pukul 09.00 WIB. 

Sesampainya di dekat kantor perbekel, keenam peserta SWADAYA turun dari angkot  dan berjalan masuk ke areal semiterbuka kantor perbekel. Ansen menunggu di luar karena ia  mengenakan celana pendek, sekaligus menjaga barang-barang yang ditinggal di dalam angkot.  Ketika bertanya kepada salah satu pegawai yang standby di kantor perbekel, rupanya Pak Kel  sedang keluar karena ada rapat di kecamatan. Lebih lagi, pegawai tersebut tidak tahu akan  sampai jam berapa rapat Pak Kel akan selesai. 

Ini bukan kabar baik bagi para peserta SWADAYA yang sudah berencana untuk kembali  sebelum siang. Apabila rundown tidak diikuti, maka angkot harus menunggu lebih lama dan biaya tentu bertambah. Di samping itu, belum tentu ada bus yang bisa mengantar dari Klungkung  ke terminal berikutnya. Ini benar-benar terjadi di luar rencana, dan belum terpikirkan rencana  cadangan sama sekali sebelumnya. 

Akhirnya, kami memutuskan untuk mencetak file pendukung presentasi dengan printer kantor terlebih dahulu (tidak ada proyektor di kantor itu) sambil memikirkan apa yang harus  dilakukan selanjutnya. Tak lupa, kami juga menghubungi kembali Perbekel melalui pesan  singkat agar tidak mengganggu rapat beliau. Beberapa lembar kertas telah tercetak hitam-putih  dan diskusi berlangsung. Dari diskusi tersebut, terdapat beberapa solusi yang dapat dipilih.  Pertama, menunggu sampai Perbekel selesai rapat dan melanjutkan presentasi sesuai rencana,  kemudian mencari alternatif transportasi dari Klungkung. Kedua, menunda presentasi sampai  selesai pendakian kedua, tetapi infografis sudah harus selesai dicetak dan file pendukung  presentasi harus ditinggalkan sebelum kami pergi ke Denpasar. Dari pilihan itu, tentu dirasa  pilihan kedua merupakan pilihan paling bijaksana. Maka, kami pun memilih untuk menunda saja  presentasinya. 

Saat kelima peserta SWADAYA telah mulai menyampaikan perubahan rencana tersebut  kepada pegawai kantor, tiba-tiba sebuah pesan singkat dari Pak Kel masuk ke nomor ponsel Odi. Rupanya, Pak Kel akan segera datang dan meminta tolong supaya kami tetap bertahan di kantor  perbekel dan menunggu hingga beliau tiba. 

Mendengar kabar itu, akhirnya kami pun kembali duduk dan menunggu. Hingga  akhirnya, Pak Kel datang juga. Kami pun bersalaman satu persatu, dan Pak Kel memohon maaf  atas kepergiannya yang mendadak untuk urusan rapat di kecamatan. Selain itu, rupanya tidak ada  perangkat desa lain sehingga presentasi tidak dilakukan sesuai rencana sebelumnya. Ketimbang  presentasi, penyampaian hasil kegiatan selama beberapa hari di Desa Besakih lebih tepat jika  dikatakan sebagai dilakukan dengan cara bincang-bincang santai bersama Pak Kel di areal  semiterbuka Kantor Perbekel Desa Besakih. 

Kami menyerahkan file pendukung presentasi berupa selembar kertas berisi penjelasan  kegiatan kami selama di Besakih dalam bentuk poin-poin, serta selembar kertas lainnya yang  berisi gambaran infografis yang akan kami buat secara detail dan dicetak sebagai banner nantinya. Setelah itu, kami berpamitan dan meninggalkan Besakih dengan menaiki angkot merah  yang telah menunggu sedari tadi. 

Perjalanan menuju terminal Batubulan ditempuh dalam waktu sekitar dua setengah jam.  Dalam perjalanan, kami menghabiskan snack yang tak jadi dibagikan karena sedikitnya orang  yang datang, serta tidur karena kelelahan. Sesampainya di Batubulan, kami pun makan siang  kemudian melanjutkan perjalanan dengan menaiki bus Trans Sarbagita. Dari Batubulan, kami perlu transit ke salah satu halte, barulah kemudian melanjutkan perjalanan lagi hingga tiba di  halte KOTA. Dari situ, kami berjalan kaki menuju Universitas Mahasaraswati (UNMAS), tempat  sekretariat Bhuana Giri berada. Di lokasi terdapat banyak sekali kampus dan sekolah, mulai dari  SD hingga kuliah. 

Kami tiba di depan sekretariat Mapala Bhuana Giri (BG) pukul 16.30 WITA. DI sana belum ada orang, sehingga kami meletakkan beban carrier lalu beristirahat di bangku yang  terletak di koridor gedung depan bangunan sekretariat. Cuaca cukup lembab dan gerah ketika  kami menunggu Angga dan kawan-kawan sore itu. Matahari bersinar terik, hingga akhirnya datanglah anggota Mapala BG satu persatu. Kami pun dipersilakan masuk, menaruh barang,  kemudian mengobrol bersama orang-orang yang ada di sana. Dari sore hingga malam, para  peserta SWADAYA memutuskan untuk tidak mencari makan sendiri karena melihat keadaan  terlebih dahulu, khususnya seperti apa pecinta alam di daerah setempat bertamu. Maka hari itu,  kami hanya berkegiatan bebas bersama teman-teman baru, menyelingi dengan kegiatan rutin  harian yaitu evaluasi dan briefing, barulah kemudian kami istirahat. Sebagian tidur di ruangan  Mapala BG, sebagian lagi tidur di ruangan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kempo yang  letaknya hanya di depan ruangan Mapala BG. Ruangan UKM Kempo memang sering tidak  dipakai, sehingga justru digunakan oleh para anggota Mapala BG. 

Jumat, 21 Juli 2017 

Sekitar pukul tujuh pagi, para peserta SWADAYA bangun satu persatu. Ada yang mandi,  ada juga yang hanya mencuci muka serta menyikat gigi. Kampus sudah sangat ramai dan jalanan  diisi penuh oleh motor sehingga sangat sulit untuk dilewati meskipun hanya berjalan kaki. Perut  yang sejak semalam tidak diisi, keroncongan dan mengisyaratkan meminta asupan gizi. Karena  tidak ada tanda-tanda kegiatan makan dari anggota Mapala BG sendiri, akhirnya para peserta  SWADAYA berangkat mencari makan pada pukul 10.00 WITA ke pasar yang letaknya tak jauh  dari kampus. Kami pun makan di Warung Banyuwangi, di mana warung tersebut merupakan  warung Jawa Muslim—sebagian warung menjelaskan dengan pasti bahwa warung tersebut  merupakan warung muslim mengingat banyaknya populasi Hindu di Bali. Di sana, tiga orang  memesan nasi ayam, dan tiga orang lainnya memesan nasi telur. 

Selanjutnya, Ansen dan Rifqi meminjam motor salah satu anggota Mapala BG untuk  memasukkan baju-baju kotor kami ke laundry supaya persediaan baju kami cukup. Selain itu,  kami juga melakukan survei untuk mencari percetakan alternatif. Sebab, kami berencana untuk  mencetak banner infografis dan menyerahkannya kepada pihak perbekel Besakih sebelum  kembali ke Yogyakarta. 

Ansen dan Rifqi pun kembali dengan nota-nota laundry. Kami menjelaskan bahwa  terdapat satu percetakan yang cukup dekat dengan sekretariat Mapala BG. Percetakan tersebut  menyediakan jasa percetakan yang sanggup menyelesaikan pekerjaan dalam waktu 1×24 jam  dengan tarif di bawah Rp20.000,00 per meter perseginya. Selanjutnya, kami melanjutkan  kegiatan dengan mengobrol santai. Sore itu pula, Fauzia melakukan latihan fisik dengan naik turun tangga 2 lantai sebanyak 30 kali sambil membawa carrier yang diisi penuh agar ia kuat  ketika di lapangan nanti. Sementara itu, kelima peserta SWADAYA lainnya menikmati sore di  bangku koridor depan sekretariat sambil mengobrol. 

Sore itu, Adam, seorang mapala dari Makasar yang pernah tinggal di sekretariat SATU  BUMI selama berbulan-bulan, mendatangi para peserta SWADAYA di UNMAS. Kami pun  menyambutnya dengan saling berkenalan kemudian mengobrol. Fauzia juga menghentikan  latihan fisiknya kemudian ikut mengobrol. 

Hari mulai gelap dan perut terasa lapar; Odi, Ansen, Yusri, Fauzia, Monang, Rifqi, dan  Adam berjalan bersama-sama untuk mencari makan malam. Mulanya, kami berhenti di warung  muslim. Di tempat tersebut, kami yang beragama Islam memesan makan malam dan melahapnya dengan semangat. Kemudian, kami melanjutkan pencarian makan malam masih di sekitar pasar.  Kami pun berhenti pada warung tenda yang menyediakan soto babi. Ya, Odi, Ansen, dan  Monang tentu tidak akan melewatkan kesempatan ini. Bali merupakan tempat yang tidak banyak  penduduk muslimnya, sehingga masakan babi banyak tersedia pada setiap tempat di pulau ini.  Kami bertiga melahap soto babi dengan lebih bersemangat lagi. Sambil menunggu, Yusri  membeli obat masuk angin di minimarket yang tak jauh dari warung. 

Usai makan malam, kami kembali ke sekretariat Mapala BG untuk melaksanakan  evaluasi dan briefing. Selanjutnya, kami melanjutkan kegiatan bebas dengan mengobrol santai  dan beristirahat. 

Sabtu, 22 Juli 2017 

Hari itu berjalan tak jauh berbeda dengan hari sebelumnya. Kami bangun dan mendapati  pemandangan kampus yang penuh dengan siswa SD sampai SMA, mahasiswa, orang dewasa  yang bekerja, serta motor-motor yang diparkir berjubelan. Usai sarapan nasi soto di warung yang  berada pada jalan yang sama dengan kampus Mahasaraswati, kami melanjutkan kegiatan survei.  Namun, hari itu, kami bukan melakukan survei untuk mencari informasi percetakan, melainkan  tempat sewa motor. Sebab, kami akan menyewa motor sebagai moda transportasi pulang-pergi  dari Denpasar ke Kedampal, sampai kembali ke Denpasar lagi. Yang berangkat survei adalah  Odi dan Yusri. Sementara, yang lain tetap stand by di sekretariat Mapala BG. 

Mengingat salah satu logistik kami rusak yaitu kompor Ansen, kami pun meminjam satu  kompor lapangan dari Angga. Rupanya, pengisian ulang tabung gas portable tidak umum di Bali  sehingga mapala setempat pada umumnya menggunakan kompor kaleng berbahan bakar spirtus.  Maka, Angga meminjamkan sebuah nesting berisi kompor kaleng sebagai alat masak pendakian  selanjutnya. 

Sore itu, Fauzia kembali melakukan latihan fisik dalam bentuk naik-turun tangga  sebanyak 30 kali sambil membawa carrier. Kegiatan dilanjutkan dengan makan malam,  kemudian evaluasi dan briefing. Saat itu, sekretariat Mapala BG ramai bukan hanya karena ada  tamu dari SATU BUMI, melainkan juga mapala-mapala lain. Mapala lain tersebut diantaranya  adalah mapala dari Lampung, Kalimantan, serta kampus tetangga di Yogyakarta yaitu  Madawirna (UNY). Sebab, Mapala BG baru melaksanakan lomba susur pantai se-Indonesia.  Oleh sebab itulah, masih banyak peserta lomba yang belum kembali ke daerah asalnya. Karena  ramai, malam itu kami memasak dan makan bersama di depan sekretariat Mapala BG. Usai  makan, gitar dimainkan dan lagu mulai dinyanyikan satu-persatu. Kami bernyanyi bersama dan  saling bercanda. Satu-persatu pula, kami lelah dan masuk ke dalam ruang sekretariat untuk  beristirahat karena besoknya akan berangkat ke Kedampal. 

Minggu, 23 Juli 2017 

Pada pukul 06.45 WITA, semua orang sudah bangun termasuk Yusri, Fauzia, Ansen,  Rifqi, Monang, dan Odi, terkecuali Angga yang masih terlelap dalam tidurnya. Kami yang sudah  bangun, bersiap-siap untuk melakukan packing barang-barang yang masih ada di luar carrier.  Sementara itu, Odi, Rifqi, dan Ansen memanaskan motor. Di tengah persiapan, Angga bangun  kemudian mempersiapkan barang yang diperlukannya. Pada hari ini, Angga bersama salah seorang adik tingkatnya hanya akan mengantar peserta SWADAYA menuju basecamp Kedampal. Kami tidak ikut menemani pendakian karena Angga memiliki kegiatan di kampung  halamnnya, Tabanan, yaitu upacara Ngaben untuk kakeknya. 

Setelah semuanya siap, kami berangkat tepat pukul 08.10 WITA. Total ada 4 motor  dalam 1 rombongan tersebut. Sebelum menuju Kedampal, kami mampir ke rumah Angga  sebentar. Sembari menunggu, Ibu Angga datang menghampiri membawakan kopi hitam, teh  botol dingin, serta beberapa roti untuk mengganjal perut di pagi hari. Hanya di Bali, tepatnya di  rumah Angga ada 2 ekor babi setinggi hampir sama dengan kami. Bahkan bila ditimbang, maka  berat babi tersebut akan melebihi daripada berat kami. Selesai mandi dan bersiap, kami berpamitan pada orang tua Angga untuk melanjutkan perjalanan kami. 

Waktu menunjukan pukul 09.30 WITA, jalur lingkar utara Bali kami telusuri.  Pegunungan dan pantai menjadi pemandangan dalam perjalanan. Satu jam berlalu, rombongan  tersebut berhenti di rumah makan yang menyediakan sate taican. Kami semua mengisi perut  dengan lahap, kecuali Angga. Ia tidak ikut makan bersama kami. Kami makan dengan lauk  macam-macam olahan ikan mulai dari sate lilit hingga bakso ikan dengan kuah sup yang sedap,  tak lupa ditemani plencing yang lumayan pedas. Seporsi dengan harga Rp30.000,00 merupakan  harga yang wajar mengingat masakan tersebut memang benar-benar enak. Perut kenyang,  perjalanan dilanjutkan kembali. Kali ini kami mulai melewati jalanan berkelok dengan  pemandangan yang tak kalah indahnya. Tanjakan serta turunan kami lewati. Sebelum menuju  Kedampal, kami menuju ke Kubu untuk bertemu dengan salah satu Sispala SMA 1 Kubu  bernama Rama. Ia adalah orang yang akan menunjukan jalan kepada kami menuju start pendakian jalur Kedampal. Kami sampai di desa Dukuh, indekos Rama, pada pukul 12.20  WITA. Sesampainya di sana, kami menunggu kurang lebih satu jam. Daerah tersebut dekat  dengan pantai, maka tak heran apabila angin sering berhembus dan kering. Banyak kerikil serta  pasir, serta penambangan pasir di pinggir pantai. Kami menunggu di bawah pohon rimbun  dengan tempat duduk dibawahnya serta dekat dengan warung. Karena bosan, Odi dan Yusri  memutuskan untuk berjalan menuju tempat penambangan pasir yang dekat sekali dengan pantai  dan hanya berjarak 500 meter. Sementara yang lain, masih asik bercengkrama ditemani minuman  dingin yang dibeli dari warung. Kemudian Rama datang, kami berkenalan dan diantar menuju  indekos Rama untuk melepas penat. 

Pada sore hari, istirahat dirasa sudah cukup dan tidak ada kegiatan. Pukul 17.00 WITA,  Rama mengajak kami untuk jalan-jalan. Pertama, kami mengendarai motor menuju rumah Rama  yang terletak di Desa Kubu, jarak rumah dengan indekosnya ditempuh dalam waktu sekitar 30  menit. Kami disuguhi singkong yang direbus dengan gula putih. Dengan lahap kami  memakannya. Rama juga mengajak kami mengunjungi tempat pembuatan arak. Mulai dari  memetik buah lontar hingga proses penyulingan. Kami juga sempat mencicipi air buah lontar  dengan kadar alkohol yang tidak terlalu tinggi. Ibu pemilik tempat pembuatan arak tersebut  berbaik hati mengupas buah lontar untuk kami makan. Sampai-sampai kami kenyang karena  terlalu banyak makan buah lontar. Ibu juga berbaik hati memberi kami sebagian buah lontar hasil  memetik tadi. Setelah puas, kami berpamitan kemudian segera kembali ke indekos Rama untuk  mempersiapkan pendakian esok hari.  Dan pada malam harinya, pukul 20.20 WITA setelah menempuh perjalanan yang  lumayan jauh serta kegiatan yang menarik. Kami mengisi perut dengan nasi berlauk pepes ikan  demi menjaga stamina untuk pendakian esok hari. Sebagian perlengkapan pendakian sudah dipersiapkan dan kami pun beristirahat untuk pendakian pada hari besok. Kegiatan pada hari ini  ditutup dengan evaluasi dan briefing untuk kegiatan esok. 

Senin, 24 Juli 2017 

Pagi hari merupakan bagian terbaik ketika di Desa Dukuh, karena Gunung Agung terlihat  jelas serta pantulan cahaya matahari sangat indah. Monang bangun pada pagi hari untuk  mengabadikan momen tersebut. Kemudian Fauzia dan Yusri bangun pada pukul 05.47 WITA  lalu bersiap pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan untuk bekal pendakian dan di  basecamp. Sepulang dari pasar, sebagian bahan dimasak untuk sarapan dan sisanya dipisah  kemudian dikemas sesuai pengelompokannya. Menu sarapan pada hari tersebut adalah tumis  sawi serta omelet dipadu dengan nasi putih yang masih hangat yang dimasak oleh Fauzia dan  Rifqi, dibantu oleh Rama yang piawai dalam hal memasak karena merupakan siswa SMK  jurusan perhotelan. Masakan sudah matang kemudian semua berkumpul mengelilingi makanan  yang digelar berjajar panjang. Waktu menunjukan pukul 8.45 WITA dan makanan mulai dilahap  sampai habis. Sarapan sudah beres, dilanjutkan packing logistik yang dibutuhkan. 

Pendakian kedua ini hanya memberangkatkan 3 orang, yaitu Odi, Ansen, dan Monang.  Fauzia dan Yusri berhalangan naik karena sedang dalam masa menstruasi. Untuk gunung yang  masih disakralkan oleh masyarakat sekitarnya seperti Gunung Agung, hal tersebut merupakan  pantangan bagi orang yang akan mendaki gunung tersebut. Rifqi bertugas menemani kedua  orang yang tetap tinggal dibawah dan menjadi dorlog (dorong logistik) sehingga ikut naik  kemudian turun pada hari kedua pendakian. Logistik yang dibawa Rifqi berupa konsumsi untuk  malam hari dan pagi hari esoknya. 

Menjelang siang pukul 10.45 WITA, kami mulai memasak untuk makan siang. Kami memasak menu yang sudah dijadwal oleh panitia bagian konsumsi. Sementara yang mendaki,  melakukan packing sesuai pembagian logistik. Sekitar 2 jam, kami memasak dan makanan baru  siap. Selesai makan dan packing, kami kemudian bersiap untuk menuju Kedampal. Tidak semua  barang dibawa ke basecamp, beberapa ditinggal di indekos Rama karena dirasa tidak dibutuhkan  ketika berada di basecamp. Pukul 13.20 WITA peserta SWADAYA meninggalkan Desa Dukuh.  Pantai dan bukit dengan pohon yang berwarna jingga karena sudah kering merupakan  pemandangan ketika menuju Kedampal. Jalanan menanjak juga merupakan jalur yang dilalui.  Kondisi di desa tersebut yaitu rumah penduduk yang saling berjauhan. Sempat motor Rifqi  mengalami pecah ban. Karena hal tersebut maka, Yusri pindah ke motor Rama dengan tujuan  mengurangi beban motor yang dipakai oleh Rifqi. Basecamp Kedampal berada paling atas di  desa tersebut. Di dekat basecamp tersebut terdapat Embung Datah II. 

Rombongan tersebut sampai di tempat tujuan pada pukul 14.30 WITA. Basecamp yang  menjadi tempat untuk menginap Yusri dan Fauzia merupakan kantor untuk penjaga Embung  sekaligus menjadi tempat tinggal sementara. Ketika sampai, kami menunggu penjaga Embung  serta Klihan Banjar Kedampal, Pak Wayan Sukadi untuk pemberitahuan serta perizinan. Bapak  penjaga Embung kemudian datang dan Rama memperkenalkan rombongan tersebut. Setelah  mengisi buku tamu, kemudian kami segera bersiap-siapa karena hari masih cerah, matahari  belum tenggelam di peraduan. Selain itu agar kami sampai pada Camp 1 sebelum hari semakin  gelap. Perjalanan dimulai pada pukul 17.00 WITA, diawali dengan upacara serta meminta izin dengan berdoa di pura belakang basecamp. Upacara tersebut dipimpin oleh Rama, meski dengan  keyakinan kami masing-masing. Tugas untuk kami yang berada di basecamp adalah  menyelesaikan infografis serta selalu stand by handy talky. Kami harus memantau para pendaki  dengan mencatat laporan pendakian yang diberikan pada waktu-waktu tertentu. Selain itu, kami juga menjadi jalur informasi dengan warga sekitar dan pusat informasi di Sekretariat SATU  BUMI. 

Perjalanan Ansen, Odi, Monang, dan Rifqi dimulai dengan menyusuri jalan setapak di  sekitar lahan kosong bekas warga yang cukup luas. Selang beberapa waktu setelah para pendaki  yang terdiri dari Ansen, Odi, Monang, dan Rifqi mulai berjalan, Pak Wayan kemudian datang.  Dengan pakaian sehabis menghadiri pernikahan, sambutan hangat kami terima. Fauzia kemudian  menjelaskan kepada Pak Wayan tentang kegiatan pendakian serta meminta kartu identitas semua  peserta SWADAYA. Beliau berdalih meminta kartu identitas tersebut agar apabila terjadi  sesuatu, ada yang bias dipertanggungjawabkan. Selain itu Pak Klihan juga meminta surat  pemberitahuan, namun surat tersebut belum dimasukan ke Polsek. Surat pemberitahuan ke  Polsek Abang sudah dipersiapkan sejak di Yogyakarta, sebelum keberangkatan peserta  SWADAYA XI. Namun dari Rama sendiri mengatakan bahwa tidak perlu memasukan surat  tersebut. Maka terjadi salah paham diantara kami. Pak Klihan berpamitan dan berkata bahwa  besok beliau akan datang kembali. 

Basecamp yang ditempati berdampingan dengan rumah penjaga embung. Pada rumah  tersebut terdapat warung kecil yang buka hanya pada saat tertentu. Ketika ibu pemilik warung  sedang pergi ke ladang atau ketika malam angin berhembus kencang dan tentunya ketika hujan  turun. Posisi warung tersebut terletak paling atas, sehingga pembeli warung tersebut lebih sering  merupakan pengunjung embung. Biasanya kami hanya berjalan-jalan mengelilingi embung atau  sekedar mengisi waktu luang. Setelah kepergian Pak Klihan, Rama kemudian mentraktir mie  instan rebus beserta segelas energen hangat. Ibu tersebut lebih sering berbicara kepada Rama  dalam Bahasa Bali. Karena Fauzia dan Yusri tidak paham, maka hanya mengangguk dan  menjawab sebisanya saja.  

Waktu menunjukkan pukul 18.30 WITA dan tim yang mendaki kehilangan jalur dan  belum tiba di tujuan, yaitu tempat camp pertama. Akhirnya, kami memutuskan untuk mendirikan  tempat camp di lokasi kami saat itu, yaitu pada koordinat 08° 21′ 20.5″ LU, 115° 33′ 16.4″ BT.  Proses pembuatan kemah memakan waktu cukup lama dikarenakan kondisi tanah yang tidak  rata. Fauzia mengabari melalui handy talky bahwa malam itu kami harus memasukan surat  pemberitahuan ke Polsek Abang malam itu juga. Ansen menjawab, dan sempat melarang Fauzia  untuk pergi karena mengira hanya ditemani Yusri saja. Lalu Fauzia menjelaskan bahwa Rama  akan mengantar kami berdua. Karena dirasa aman, berangkatlah kami bertiga dengan  mengendarai motor. Sementara itu, tim yang berada di atas menghabiskan sisa malam dengan  memasak dan makan, lalu dilanjutkan dengan evaluasi dan briefing. Setelah semua telah usai,  barulah kami beristirahat. 

Di basecamp, Yusri, Fauzia, dan Rama melaju menuju Polsek Abang. Perjalanan malam  itu cukup hangat, karena cuaca dibawah tidak sedingin saat berada di basecamp. Jalanan tidak  ramai namun minim pencahayaan sehingga sulit untuk melihat. Selama 30 menit perjalanan,  kami sampai di Polsek Abang. Kami disambut ramah oleh 3 polisi yang berjaga. Fauzia lalu  menjelaskan maksud kedatangan kami, dengan menjelaskan rincian kegiatan serta peserta yang  melakukan pendakian, darimana kami berasal. Rama pun ikut membantu menjelaskan. Fauzia menyerahkan surat pemberitahuan dan salah satu dari polisi menerimanya. Proses tersebut tidak  memakan waktu yang lama. Karena surat sudah tersampaikan, maka kami pamit undur diri.  

Jalanan yang gelap kami lewati lagi untuk menuju ke basecamp. Selain gelap, jalan  tersebut juga berkelok. Rama mengajak Fauzia dan Yusri mampir ke warung bakso dan mie  ayam lalu membungkus 3 porsi mie ayam. Kemudian kami bertiga melanjutkan perjalanan  kembali menuju basecamp. Angin kencang dan dingin menyambut kedatangan kami bertiga.  Setelah turun dari motor, dengan segera kami masuk ke basecamp. Dibuka ketiga bungkusan mie  tersebut dan dimakan dengan lahapnya untuk mengisi energi berperang melawan dinginnya  malam. Malam itu, tidak ada listrik yang mengalir. Dan kami ditemani oleh suara gemuruh  angin. Karena tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan, maka kami memutuskan untuk pergi tidur. 

Selasa, 25 Juli 2017 

Cuaca pada pagi hari itu mendung. Mentari tidak menampakan sinarnya. Langkah kaki,  bunyi engsel pintu ketika terbuka dan tertutup, serta bunyi suara keran membangunkan kami setiap pagi. Kamar mandi bergantian digunakan. Fauzia bangun yang pertama pada pukul 06.30  WITA disusul Yusri. Kami sepakat selama stand by di basecamp, kami memiliki tugasnya  masing-masing. Fauzia berkutat dengan desain infografis sedangkan Yusri mengurusi dalam hal  masakan. Kami sudah mulai bekerja dengan tugasnya masing-masing. Rama masih menutup  mata menyelesaikan mimpinya. Tidak lupa kami stand by handy talky pada pukul 07.00 WITA  hingga pukul 09.00 WITA. Kompor yang ditinggal merupakan kompor yang terbuat dari botol  kaleng bekas berbahan bakar spirtus. Butuh waktu lama untuk mematangkan masakan. Karena  kondisi tersebut, maka kami memutuskan sarapan dengan masak mie instan rebus. Sebagai  selingan, singkong direbus bersama gula. Handy talky berbunyi, Ansen mengatakan bahwa kami sudah mulai mendaki lagi dan Rifqi berpisah dengan rombongan untuk turun menuju basecamp

Ya, pada hari kedua pendakian tersebut, tim yang berada di atas telah bangun dan  menyiapkan sarapan sejak pukul 06.30 WITA. Usai sarapan, kami bersiap-siap untuk  meneruskan perjalanan, tetapi kali ini hanya tiga orang, antara lain Odi, Ansen, dan Monang.  Rifqi akan kembali ke basecamp untuk mendampingi Fauzia dan Yusri. Perjalanan dimulai pada  pukul 09.30 WITA dengan menelusuri hutan lebat. Tujuan utamanya jelas: kembali ke jalur  pendakian, yang jaraknya cukup berjauhan pada peta. 

Pagi itu, Fauzia, Yusri, dan Rama kedatangan seorang petugas polisi bernama Pak Putu  dengan jabatan Bhabinkamtibmas Kedampal, semacam petugas keamanan pada daerah tersebut.  Maksud dari kedatangan Pak Putu adalah untuk meneruskan laporan surat perizinan yang kami masukan semalam. Pak Putu menanyakan kenapa kami baru menyerahkan surat izin lewat  tanggal dari kegiatan. Rama kemudian membantu Fauzia menjelaskan kepada Pak Putu  kemudian beliau meminta untuk dipanggilakn Pak Kliyan. Beberapa waktu kemudian Pak Klihan  datang bersama putranya yang masih balita. Suasana sempat tegang karena antara Pak Klihan  dan Pak Putu memiliki argumen kami masing-masing. Pak Putu menanyakan kenapa Pak Klihan  membawa kartu identitas kami, kemudian dijelaskan untuk sebagai jaminan dan agar dapat  difotokopi oleh beliau. Pada waktu pertama kedatangan Pak Klihan hari sudah mulai gelap, serta  disekitar embung tidak ada tempat fotokopi. Setelah semua jelas, Pak Putu kemudian pamit.  Beliau sempat memfoto identitas kami. 

Selang satu setengah jam tepat pada pukul 10.30 WITA Rifqi sampai pada Embung  Datah II. Sebelumnya, Rama pamit untuk turun ke bawah karena ada kerja. Tidak banyak hal  yang dapat dilakukan. Kami melakukan apa yang menjadi tugasnya. Fauzia harus segera  menyelesaikan infografis. Pukul 11.00 WITA Yusri kembali memasak. Kendala kami adalah  membutuhkan waktu yang lama untuk mematangkan masakan. Maka dari itu sesekali Yusri  membaca buku yang dibawa. Untuk memecah keheningan, kami sesekali ngobrol atau sekedar  menanyakan tentang infografis. Kami menghabiskan waktu dengan melakukan kegiatan yang  sama sepanjang hari. Meski begitu kami tidak boleh meninggalkan basecamp karena harus tetap  memantau keadaan diatas. 

Di atas, ketiga pendaki dari tim SWADAYA XI tengah berupaya mencari jalan.  Bermodalkan kompas, GPS, perlatan navigasi lain, dan tidak lupa parang untuk membuka jalan,  kami akhirnya menemukan jalur kembali pada pukul 15.05 WITA. Selang beberapa detik, kami pun menemukan pelinggih di pinggir jalan. Tak lupa kami berdoa disana memohon berkat.  Perjalanan menuju titik kemah kedua masih cukup jauh dengan kondisi medan yang semakin  menanjak dan pohon-pohon besar di sekitar jalur pendakian. Hingga gelap tiba, kami belum  kunjung sampai di lokasi kemah kedua, dan malah keluar jalur karena kondisi jalur yang tidak  jelas. Kami pun memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan dengan pertimbangan jarak  yang sudah lumayan dekat dan tidak adanya lokasi yang dapat dijadikan tempat kemah di  sepanjang perjalanan. 

Pukul 20.30 kami mulai memutuskan untuk menghentikan perjalanan dan membuat  tempat kemah seadanya. Di tempat pemberhentian, kondisinya tidak memungkinkannya untuk  mendirikan tenda, sehingga kami pun hanya membuat kemah berupa bivak semi alam, dengan  memanfaatkan flysheet yang telah dibawa. Sembari Ansen dan Odi membuat bivak, Monang  langsung mulai memasak karena semuanya sudah sangat lapar. Akhirnya kami pun makan pada  pukul 23.15 WITA. Setelah makan, ketiga pendaki tersebut langsung beristirahat karena kondisi  cuaca yang berangin cukup kencang. Harapannya, besok pagi kondisi fisik kami tetap terjaga  untuk melanjutkan perjalanan.  

Rabu, 26 Juli 2017 

Hawa dingin serta rutinitas pagi membangunkan kami. Angin masih berhembus kencang  dan langit tetap tertutupi oleh awan meski sekali-kali angin menyapu kami dari langit. Pagi itu  Fauzia, Yusri, Rifqi, dan Rama mengganjal perut kami dengan memakan roti ditemani minuman  hangat. Rama semalam datang disaat kami sudah terlelap. Pengerjaan infografis hampir selesai.  Sembari menunggu kabar masuk melalui handy talky, Fauzia menyelesaikan infografis. Hari itu  juga infografis akan dicetak agar besok dapat diserahkan ke Besakih. Pukul 09.20 WITA Fauzia  dan Rama pergi turun ke kota untuk mencetak infografis dalam bentuk banner. Rifqi juga ikut  turun untuk menambal ban yang bocor serta membeli beberapa barang yang dibutuhkan,  sedangkan Yusri tetap berada di basecamp. Di atas, Odi, Ansen, dan Monang bangun kemudian  langsung memasak sarapan sembari melakukan evaluasi dan briefing karena belum dilakukan  pada malam sebelumnya. Perjalanan kami mulai pada pukul 11.15 WITA, dengan kondisi cuaca  mendung dan berangin kencang, sama seperti di bawah. Dengan mengikuti jalur yang ternyata  berada sekitar 50 meter di sisi selatan lokasi kemah, kami pun sampai di puncak Kedampal pada  pukul 12.30 WITA. Puncak Kedampal terletak pada koordinat 08° 20′ 32.2″ LU, 115° 30′ 41.9″ BT dengan ketinggian 2947 meter di atas permukaan laut. Kondisi di puncak Kedampal yang  berkabut tebal dengan angin yang kencang membuat kami tidak berlama-lama di sana. Kami pun  turun pada pukul 13.05 WITA, dengan tujuan langsung ke titik awal pendakian, Embung Datah  II. 

Rifqi segera kembali ke basecamp usai menambal ban dalam waktu yang tak lama.  Setelahnya, Rifqi dan Yusri menunggu kabar lanjutan dari Fauzia. Pesan terakhir yang diterima  dari Fauzia adalah kami mencetak banner di Kota Karangasem dan butuh waktu sekitar 20 menit  untuk proses pengerjaannya. Jarak yang ditempuh dari Kedampal ke Kota Karangasem adalah  sekitar satu jam. Perut sudah mulai lapar, kami sepakat untuk memasak mie karena lebih praktis.  Kami juga kadang mengisi waktu luang dengan membaca buku. Pesan dari Fauzia membunyikan  ponsel Yusri, isinya adalah bahwa Rama tidak dapat mengantar Fauzia hingga ke basecamp karena harus segera pergi untuk bekerja dan meminta Rifqi untuk menjemput di titik yang kami sepakati. Ketika kami berdua sudah hampir sampai ke titik tersebut, Fauzia akan mengabari kami melalui pesan singkat. Namun sebelum kami sampai, Rama mengajak Fauzia mampir ke warung  bakso dan membungkus satu porsi untuk Yusri dan Rifqi. Pukul 13.00 WITA Rifqi bergegas  menuju ke dekat jembatan untuk menjemput Fauzia. Ketika sampai di basecamp, lemak pada  kuah bakso telah menjadi gumpalan. Banner yang sudah dicetak kemudian dibuka untuk dilihat  isinya. Bau dari tinta masih sangat terasa dan beberapa bagian masih lengket ketika dibuka  lipatannya. 

Hari ini merupakan hari ketiga pendakian dan waktunya untuk turun dari Gunung Agung.  Angin masih berhembus kencang, awan gelap menutupi langit pada sebelah timur. Puncak  Gunung Agung juga diselimuti awan gelap. Matahari berada di sebelah barat dan segera  tenggelam. Dari handy talky, Ansen mengabarkan bahwa para pendaki sedang dalam perjalanan  turun. Pukul 17.30 WITA, Fauzia bersama Rifqi pergi membeli gorengan sebagai penyambutan  atas kedatangan kami yang mendaki. Kami kembali dengan membawa teh botol, gorengan  berupa pisang, tempe, dan tahu, dan makan malam untuk kami semua. 

Hari semakin gelap. Awan mendung menyelimuti seluruh langit, namun yang mendaki  tak kunjung datang. Meski demikian, perjalanan turun tidak memakan waktu seperti pada saat  naik, karena kami hanya tinggal mengikuti jalur yang ada. Pada perjalanan turun, kami disuguhi  dengan pemandangan indah sisi timur pulau Bali—dimana laut dapat langsung terlihat di  sepanjang perjalanan turun. Tiba-tiba handy talky berbunyi, Ansen berkata bawa kami sudah  sampai embung. Saat itu, waktu menunjukkan pukul 19.20 WITA. Dari kejauhan terlihat Odi  berlari menuju basecamp dan segera masuk ke kamar mandi. Ia sudah menahan untuk  membuang hajat selama perjalanan turun namun karena kami harus tetap berjalan dan hari sudah  gelap. Ia sebenarnya sudah meminta izin kepada korlap untuk buang air, namun dilarang dan  diminta untuk ditahan demi keamanan kami semua. Disusul Ansen dan Monang, kami kembali  dengan muka kusam serta badan yang sudah lelah menahan beban carrier. Kondisi kaki monang  agak pincang karena terjatuh saat perjalanan. Ia lalu meminta ember untuk merendam kakinya.  Namun kami kembali dengan membawa cerita selama perjalanan menaiki Gunung Agung.  Malam itu kami makan bersama-sama dengan lauk ikan serta sayur. Kegiatan bebas diisi dengan  membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Tak lupa, sebelumnya kami juga telah melakukan  evaluasi dan briefing harian.

Kamis, 27 Juli 2017 

Suara pintu terbuka membangunkan salah satu dari kami. Fauzia bangun kemudian  memasak nasi. Pagi itu kami masih beristirahat di basecamp. Sisa logistik dari pendakian masih  dapat digunakan untuk memasak beberapa makanan. Pukul 06.00 WITA kompor dinyalakan  dalam mode api kecil. Satu persatu orang bangun. Kemudian terdengar orang mengetuk pintu,  rupanya Pak Klihan datang. Sama seperti kemarin, ia datang bersama dengan putranya  mengenakan jaket ungu. Putra Pak Klihan berumur sekitar 5 tahun, pendiam, serta memiliki pipi  yang bulat. Pak Klihan menanyakan keadaan para pendaki dan bagaimana kegiatan yang  dijalankan kemarin. Sebagai dokumentasi, kami mengajak Pak Klihan berfoto dengan banner.  Pertemuan hari itu merupakan yang terakhir. Ucapan maaf dan terimakasih terdengar saat  berpamitan dengan beliau. Pak Klihan menolak ajakan makan bersama kami karena ada urusan.  Dengan sepeda motornya beliau melaju menuruni jalan berkelok. Kami kemudian sarapan  dengan nasi hangat, tumis kacang panjang, serta tempe goreng. Setelah makan, peralatan yang  digunakan kemudian dicuci. Sedangkan yang lain bersiap-siap mengepak barang karena kami akan meninggalkan basecamp hari itu juga. Semua barang sudah masuk kedalam carrier. Karpet  biru dilipat dan debu yang berada dibawahnya disapu. Dicek lagi ruangan tersebut agar tidak ada  barang yang tertinggal. Waktu itu hanya istri dari penjaga embung yang berada di rumah,  sehingga kami berpamitan dan menyerahkan beberapa barang serta uang kepada beliau. Selesai  berpamitan, peserta SWADAYA kembali menuju kos Rama. Butuh waktu sekitar 35 menit untuk  menuju lokasi tersebut. Kami meninggalkan basecamp pada pukul 10.30 WITA.  

Ansen dan Monang sempat terpisah dari rombongan. Ternyata motor yang kami kendarai  sempat mengalami rem blong dan sempat mogok. Ketika kami akan memberitahu yang  didepannya, ternyata tidak didengar. Hal tersebut baru disadari setelahnya. Fauzia dan Odi lalu  berhenti diikuti oleh Yusri dan Rifqi. Setelah semua beres, perjalanan dilanjutkan kembali. Kos  Rama sedang tidak ada orang ketika kami sudah sampai. Namun Rama berpesan kunci pintu  kosnya terletak di sela-sela ventilasi yang terletak diatas pintu. Hari itu merupakan saat bagi  kami untuk berkegiatan bebas. Odi, Monang, dan Yusri bersantai disamping warung pepes yang  berada dipinggir jalan. Warung tersebut juga terletak di gang untuk menuju kos yang kami tumpangi. Minuman dingin dan beberapa bungkus snack kecil menemani kami mengobrol.  Fauzia lalu datang menyusul kami bertiga. Sebelum ikut duduk bergabung, ia membeli beberapa  bungkus snack dan minuman dingin.  

Yusri dan Fauzia pergi menuju kos. Kami berdua bersiap untuk memasak makan siang.  Pada saat di basecamp, Rama sempat memetik labu siam dari kebun di sekitar embung. Labu  tersebut baru sempat diolah ketika sudah berada di bawah. Lauk untuk makan siang yaitu omelet  mie. Kering tempe yang dibawa juga akan menemani makan siang kami. Setelah semua siap,  kertas minyak disusun berjajar lalu dituang nasi. Sayur yang sudah matang diletakan diatas nasi,  disusul mie omelet diletakan disamping dan merata. Semua dipanggil untuk bersiap makan siang.  Ketika semua sudah berkumpul dan ditempatnya masing-masing, kami mulai makan dengan  lahap. Setelah selesai, peralatan yang dipakai dicuci lalu dibereskan. Dalam penggunaan air,  kami harus berhemat. Karena tidak setiap hari kran air menyala. Daerah Desa Dukuh merupakan  daerah kering dekat pantai dan sulit untuk mendapatkan air. Siang hari kami disibukan dengan  kegiatan masing-masing. seperti Yusri memasukkan data koordinat kedampal ke dalam laptop.  Fauzia mencatat dan meneliti pengeluaran serta konsumsi selama kegiatan SWADAYA. Odi dan  Monang terlelap tidur. Ansen kemudian menyibukkan diri dengan membuat layang-layang dari kayu serta kantong plastik hitam. Untuk memainkan layangan dibutuhkan tempat yang luas dan  memiliki angin yang cukup kencang. Ansen mengajak kami ke pantai. Siang itu Rama sudah  kembali ke kos. Dengan arahan dari Rama, peserta SWADAYA berangkat jalan-jalan ke pantai  pada pukul 15.00 WITA. 

Pada saat perjalanan, Yusri dan Odi terjatuh dari motor. Beruntungnya, tidak ada luka  serius dalam peristiwa tersebut. Setelah dirasa aman, kami kembali melanjutkan perjalanan.  Kami tiba di pantai sekitar Tulamben. Fauzia, Yusri, dan Odi hanya duduk dipinggir menikmati  udara sejuk pantai. Sementara, Monang dan Rifqi melepas kaos kami kemudian menceburkan  diri. Lalu Ansen sibuk menaikan layangannya ke udara dan Rama kemudian menyusul berenang  di pantai. Pantai yang kami datangi memiliki pasir berwarna hitam, serta pada dasar pantai  berupa batu kali. Puas kami menghabiskan waktu di pantai, lanjut pindah ke pantai yang lain.  Kali ini, pantai tak bernama yang kami datangi. Berada di pinggir jalan, agak menjorok kedalam.  Untuk menuju pantai, harus menuruni tangga. Sama seperti pantai sebelumnya, pasir pantai  berwarna hitam dan batu kali berukuran macam-macam. Kelebihan dari pantai ini adalah  terdapat air tawar yang mengalir menuju pantai. Dengan dibatasi batu kali sehingga membentuk  seperti kolam dengan air tawar didalamnya. Kami membilas badan dalam kolam tersebut agar  badan tidak lengket karena terkena air laut. Bali memang identik dengan pura, tak heran ketika  saat mengunjunginya akan dengan mudah menemukan Pura, termasuk di pantai. Pura tersebut  terletak diatas pantai, dan terdapat orang yang sedang bersembahyang yaitu seorang wanita  mengenakan kebaya merah dengan membawa beberapa canang.  

Sebelum hari berangsur gelap, peserta SWADAYA segera kembali ke kos Rama. Pada  saat perjalanan pulang, Odi dan Yusri mampir membeli gorengan. Penjual tersebut bukan asli  orang Bali, tetapi sudah tinggal di Bali selama 30 tahun. Penjual tersebut merupakan seorang  lelaki berumur sekitar 50 tahun dan berasal dari Kediri. Yusri menyodorkan uang Rp 20.000,00,  lalu uang itu diterima oleh bapak penjual gorengan kemudian diserahkan plastik berisi gorengan.  Kami mengucapkan terima kasih lalu pergi meninggalkan warung tenda tersebut. Sesampainya  di kos, gorengan tersebut kemudian dicemil bersama-sama dan pukul 17.30 WITA kami mulai  mengolah makan malam. Tidak semua logistik diberikan, sebagian disimpan untuk bekal selama  menginap di Desa Dukuh dan bahan pokok makanan akan habis ketika sudah berada di  Denpasar. Sisa-sisa seperti kering tempe, saos, dan kecap akan dibawa pulang kembali ke  Yogyakarta. Makanan sudah siap, digelar seperti biasa kemudian diawali dengan doa dan  masing-masing mulai memakannya. Peralatan kemudian dibereskan dan dicuci. Di Desa Dukuh,  air sulit didapatkan dan hanya menyala pada pagi dan malam sekitar pukul 9 malam. Maka dari  itu selepas bermain dari pantai pada sore hari, harus menunggu hingga malam untuk air menyala  agar dapat mandi. Pada malam itu, peserta SWADAYA berfoto bersama Rama, sebagai  dokumentasi kegiatan dan kenang-kenangan ketika berada ditempatnya. Setelah semua kegiatan  pada hari itu selesai dilaksanakan, ditutup dengan evaluasi. Briefing juga dilaksanakan untuk  kegiatan besok. Peserta SWADAYA berencana, sebelum kembali ke Denpasar, kami akan  mampir ke Besakih untuk menyerahkan banner infografis sebagai hasil dari kegiatan sosmas  yang telah dilakukan. Setelah evaluasi dan briefing selesai, kami bergegas untuk tidur, karena  harus bangun pagi untuk memulai kegiatan pada esok hari. 

Jumat, 28 Juli 2017

Hari itu merupakan pagi terakhir kami bangun di Desa Dukuh. Waktu menunjukkan  pukul 06.00 WITA dengan posisi semua peserta SWADAYA telah bangun. Kemudian, kami bergegas mengepak barang untuk dimasukan ke dalam carrier. Semua siap untuk berangkat pada  pukul 07.20 WITA. Dalam perjalanan, Rifqi meminta untuk berhenti ke tempat pembuatan arak.  Ia membeli arak sebagai oleh-oleh sepulang dari Bali. Tempat pembuatan arak berada di pinggir  jalan yang dilalui ketika menuju atau dari Kedampal. Dari pinggir jalan, tempat tersebut tidak  tampak seperti tempat pembuatan arak, melainkan seperti rumah pada umumnya dengan pagar  berada di depannya serta terdapat anjing penjaga. Rifqi kembali dengan membawa 2 botol  ukuran 1,5 L serta 2 botol ukuran 600 mL. Karangasem memang terkenal sebagai tempat  produksi arak paling enak di Bali. 

Perjalanan kembali dilanjutkan. Sekitar setelah satu jam perjalanan, kami berhenti di pos  pengisian bahan bakar untuk mengisi bahan bakar serta membeli kudapan di toko yang terletak  tepat di samping pom bensin. Sepanjang perjalanan kami menemui rombongan orang berjalan  kaki, berpakaian adat Bali, pasangan pengantin berada paling depan lalu diikuti oleh orang yang  memegang gamelan dan memainkannya. Jalan yang kami lalui menanjak dan berkelok, serta  kadang kami menemui turunan. Hutan berada di pinggir jalan masih alami, dengan pohon yang  tinggi dan besar. Bahkan ada suatu tempat dimana masih terdapat monyet-monyet berkeliaran  sampai di pinggir jalan dan membuat orang rela untuk berhenti sejenak untuk memberi makan  atau sekedar berfoto. Monyet-monyet tersebut tidak takut, bahkan menerima apa yang diberikan  oleh pengendara yang lewat. Kami melewati tempat tersebut saat masih dalam perjalanan. 

Tepat 2 jam perjalanan kami sampai di Kantor Perbekel Besakih. Sebelumnya Odi sudah  menghubungi Pak Kel dan Bli Komang untuk mengabarkan bahwa kami sudah menyelesaikan  infografis dan segera menyerahkan hasilnya. Bli Komang sudah menunggu di kantor, sedangkan  Pak Kel tidak ada di lokasi karena sedang ada rapat. Oleh sebab itu, Sekretaris Desa mewakili  Perbekel untuk menerima hasil dari infografis bersama Bli Komang. Selain menyerahkan, kami juga berpamitan karena akan segera menuju Denpasar dan pulang ke Yogyakarta. Kami mengakhiri pertemuan dengan berfoto bersama. Selang beberapa waktu kemudian Pak Kel  datang lalu menyalami kami, selain itu beliau juga meminta maaf karena mendadak ada rapat  sehingga tidak dapat menemui dari awal. Kemudian kami juga berfoto bersama Pak Kel dengan  banner SWADAYA yang sudah disiapkan. Setelah semua urusan selesai, peserta SWADAYA  pamit undur diri karena masih harus melanjutkan perjalanan ke Denpasar. Ketika masih berada  di Besakih, kami mampir ke warung makan nasi yang berada di utara balai banjar Kedungdung,  tempat kami menginap selama berada di Besakih. Nasi campur lauk ayam untuk Fauzia, lauk  telur asin untuk Yusri, lauk terong untuk Rifqi, dan lauk daging babi untuk sisanya. 

Selesai makan, perjalanan dilanjutkan kembali. Dengan berbekal Google Maps, kami menuju Universitas Mahasaraswati tempat sekretariat Bhuana Giri berada. Pukul 10.20 WITA  kami melanjutkan perjalanan kembali. Ketika sudah berada di dekat UNMAS, Rifqi dan Yusri  memutuskan untuk berhenti di masjid At-Taqwa. Motor yang dipakai oleh Rifqi kemudian  dikendarai oleh Ansen. Letak masjid tersebut berada di pinggir jalan raya. Maka tak heran  apabila ramai dikunjungi, terutama ketika salat jumat. Selepas melaksanakan salat jumat dan  salat dzuhur, kami beristirahat sambal makan mie ayam yang berada dalam kompleks masjid.  Perut sudah terisi, sekitar 650 meter jalan harus disusuri untuk menuju sekretariat Bhuana Giri.  Suara bising kendaraan, serta terik matahari yang menyengat menemani langkah kami. Setibanya  di lokasi, terlihat Fauzia sedang berbicara dengan Angga.

Panas yang menyengat membuat kami malas untuk beraktivitas. Semakin banyak  bergerak maka akan membuat badan semakin panas. Kipas angin dalam ruangan sangat  menyejukkan. Odi datang dari luar, menghampiri Yusri yang sedang merebahkan diri dan  bermain. Ia meminta untuk ditemani mengembalikan motor segera. Yusri mengiyakan, kemudian  kami berangkat dengan masing-masing mengendarai motor. Odi dan Yusri kembali dengan  mengendarai motor berboncengan. 

Sore hari diisi dengan kegiatan bebas. Namun, motor yang disewa harus sudah segera  dikembalikan. Hari itu merupakan batas waktu pengembalian motor. Alhasil 2 motor baru  sempat dikembalikan pada malam hari dan dikenai denda. Makan malam kali ini dibeli di sekitar  Pasar Asoka. Pada malam hari, pasar tersebut ramai karena merupakan pasar malam. Banyak  penjual baju-baju dalam pasar tersebut, mulai dari baju untuk anak kecil hingga dewasa dijual  dalam pasar. Di luar pasar berjejer warung kaki lima yang didominasi oleh penjual soto. Nasi  campur di angkringan menjadi pilihan kami untuk makan malam. Masing-masing menghabiskan  2 hingga 3 bungkus nasi. Seporsi nasi seharga tiga ribu rupiah. Pada bungkus nasi terdapat  keterangan untuk membedakan mana nasi kuning atau nasi putih. Setelah kenyang, kami kembali  ke sekretariat Bhuana Giri dengan berjalan kaki.  

Angga membuat lincak dadakan di depan sekretariat kami, terdiri dari kursi kayu yang  disusun mengelilingi meja berbentuk balok. Pada meja sudah tersajikan kacang Bali yang dibeli  di pasar, serta gelas untuk menuang arak. Malam akan kami habiskan dengan bermain gitar dan  meminum arak. Sementara, Fauzia dan Yusri akan bertahan duduk di lincak hingga kantuk  menyerang. Pada malam kali ini evaluasi dan briefing yang terakhir kalinya dilakukan. Sebelum  gelas berisi arak berputar, briefing segera dilakukan. Selepasnya kembali ke dalam kumpulan  orang-orang yang duduk di lincak

Sabtu, 29 Juli 2017 

Hari itu ada beberapa kegiatan yang akan kami lakukan. Salah satunya adalah  mengunjungi tempat kerja Adam. Yusri kemudian menghubungi serta membuat janji untuk  bertemu. Sekitar siang hari kami akan sampai ke tempat kerja Adam di Bali Kuta Resort. Namun  sebelum berangkat, kami memiliki makan pagi berupa nasi ayam yang dibeli di warung makan  Glory, terletak di depan Universitas Dwijendra. Warung tersebut terletak di sebelah barat dan  menjorok kedalam, bila tidak jeli maka tidak akan terlihat. Kami kemudian menuju halte KOTA  yang berada di timur Gelora Ngurah Rai. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk menunggu  kedatangan bus. Untuk menuju lokasi, turun di halte depan Hypermart Mal Bali Galeria. Butuh  satu kali ganti bus Trans Sarbagita. Kemudian, kami berjalan kaki mengikuti arah peta yang  sudah dibagikan oleh Adam melalui pesan singkat menuju hotel tempat Adam bekerja. 

Hotel tersebut terletak di pinggir jalan yang lumayan sempit, hanya cukup untuk satu  mobil berpapasan. Pesan kami telah sampai di depan hotel sudah terkirim. Sembari menunggu,  mata melihat disekeliling melihat bangunan hotel. Adam lalu muncul, diarahkan kami pada  kursi-kursi yang terletak di pinggir kolam renang. Kursi terbuat dari bahan kayu jati dan  berjumlah 6. Suasana yang menyenangkan untuk berbincang ditambah iringan musik menambah  irama. Seorang pramusaji datang membawa satu teko berisi es teh beserta 7 gelas. Kami berbincang sembari menghabiskan minuman tersebut. Kemudian datang lagi seorang pria, sesama pekerja hotel, rekan Adam membawa kantong plastik hitam yang berisi bungkusan nasi  padang. Piring, sendok, serta garpu turut diantarkan pula. Kondisi perut sebenarnya belum butuh  untuk diisi. Namun karena sudah dipersilakan, apa boleh buat. Dibukanya bungkusan diatas  piring. Terlihat gunungan nasi beserta sayur dan lauk disekitarnya kemudian runtuh. Porsi nasi  padang memang pada umumnya berjumlah lumayan banyak. Mau tidak mau makanan harus  dihabiskan. Sambal hijau sempat membuat Odi kewalahan serta Ansen berkeringat. Pada  akhirnya makanan dapat dihabiskan meski dengan susah payah. Beberapa batang rokok telah  dinyalakan, itu menandakan bahwa kami sudah selesai untuk makan siang. 

Sembari menunggu makanan turun, perbincangan dilanjutkan kembali. Angin semilir dan  perut kenyang membuat rasa kantuk timbul. Adam mengajak kami menuju lantai paling atas  pada bangunan hotel—sebuah rooftop. Rooftop terletak di lantai 5 dan untuk menuju kesana  harus menggunakan tangga yang cukup membuat bulir-bulir keringat keluar. Kondisi pada  rooftop tersebut tidak ada atap pelindungnya, terdapat tandon air yang dapat menampung hingga  32000 liter serta pipa-pipa yang melintang. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah  genteng-genteng pada rumah, dan beberapa bangunan pencakar langit terlihat. Layang-layang  tampak bertebangan menghiasi langit sore. 

Selepas dari Bali Hotel Resort, kami menuju toko oleh-oleh yang berjarak sekitar 1 km,  bernama Bali Jaya Mart. Toko tersebut menjual berbagai macam oleh-oleh khas Bali.  Kebanyakan yang dibeli adalah pai susu. Proses transaksi diakhiri di meja kasir. Selesai  berbelanja, kami harus segera kembali ke Bhuana Giri. Semalam, Angga menawarkan untuk  pergi berkemah di pinggir danau. Segala macam kebutuhan serta transportasi sudah ada yang  mengurusi. Kami hanya butuh untuk siap pada sore hari agar datang sebelum larut malam.  Fauzia lalu memesan taksi online. Biaya yang dikeluarkan adalah Rp35.000,00. Pukul 16.00  WITA peserta SWADAYA XI sudah sampai ditujuan. Kami bergegas mengepak semua barang.  Hari itu merupakan hari terakhir kami berada di tempat tersebut. Esok, selepas dari acara kami akan langsung menuju terminal untuk kembali ke Yogyakarta.  

Sebuah mobil APV berwarna silver terparkir di depan kampus. Kami harus berjalan kaki  untuk menuju kesana dengan carrier sudah berada di punggung masing-masing. Lokasi yang  dituju adalah Danau Tamblingan. Untuk menuju lokasi, dibutuhkan waktu sekitar 2,5 jam.  Sebelumnya kami mampir di salah satu rumah anggota senior BG bernama Doni untuk  meletakan carrier. Danau Tamblingan dipilih karena lokasi tersebut belum ramai pengunjung  dan masih terjaga kealamiannya. Jalan untuk menuju ke danau menanjak dan berkelok, sebab  lokasinya terletak di lembah perbukitan daerah Buleleng, Bali. Di atas danau terdapat sejumlah  desa, salah satunya adalah Desa Munduk. Kebetulan, Desa Munduk merupakan tempat senior  kami, Fawaz, melakukan Ekspedisi Cengkeh. Maka, malam itu kami berencana untuk bertemu.  Namun, mendadak Fawaz mengabarkan bahwa masih ada beberapa tulisan yang harus  diselesaikan, sehingga malam itu kami batal bertemu.  

Empat pasang tenda berdiri di tepi danau dan berjarak 50 meter dari pondokan. Orang orang ramai berkumpul dan bernyanyi ditemani hangatnya api unggun. Ikan-ikan yang sudah  dibersihkan siap untuk dibakar. Jaring-jaring besi berbentuk persegi panjang sebagai tempat  untuk membakar ikan maupun ayam diletakan diatas tong yang beris kayu bakar. Bumbu oles  yang digunakan terdiri dari mentega dan kecap. Selain itu, nasi mentega juga disiapkan untuk  menemani menu makan malam kami. lagu-lagu Iwan Fals berdendang malam itu. Gelas kecil yang berisi arak berputaran. Makanan sudah matang, semua orang menikmati meski harus bersiap dengan para anjing yang ikut kelaparan. Anggota Bhuana Giri yang bernama Brimob  menjadi koki utama dalam perkemahan ini. Dia juga membuat sambal yang super pedas untuk  dicocol bersama ikan. Semua orang lahap menikmati makanan. Beberapa sudah tidak dapat  menahan kantuknya, masih pula ada yang terjaga dalam pengaruh alkohol. Malam itu berakhir  dengan masing-masing dari kami mulai menuju tenda untuk tidur.  

Minggu, 30 Juli 2017 

Danau Tamblingan terlihat lebih indah ketika hari terang. Segalanya terlihat jelas. Pura  yang berada di danau tampak jelas serta hari itu terdapat sepasang orang sedang melakukan foto  pre-wedding. Pemandangan yang indah itu tidak akan dilewatkan; Monang mengambil gambar  dengan kamera menggantung dilehernya. Pada mulanya, hanya Ansen yang meminta untuk  difoto. Selanjutnya, Yusri juga ikut minta diambil gambarnya. Tak mau ketinggalan, Odi juga  meminta untuk difoto menggunakan ponselnya sendiri. 

Pedagang sate ayam sudah stand by di samping pondokan. Ia satu-satunya yang  menjajakan dagangnya pagi itu. Sarapan pagi itu diiisi dengan sepiring sate dan lontong. Kami duduk di sebuah tikar dibawah pohon rindang. Lagi-lagi kami harus bersiap dengan gangguan  anjing-anjing yang kelaparan. Maka kami harus makan dengan sedikit mengangkat piring agar  posisinya jauh lebih tinggi dari moncong anjing sehingga tidak dapat diraih oleh anjing yang  mendekati. Selesai makan, Fawaz datang dengan motor berpelat merah yang dipinjamnya dari  tempat ia menginap. Ia berjalan mendekat lalu menyalami semua orang. Kami bertukar kabar  saling menanyakan kedaan masing-masing. Fawaz duduk beralaskan sandal jepit hijau agar  pantatnya tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Waktu itu, tikar yang dipakai tidak muat  menampung dirinya. Kurang lebih selama satu jam kami berbincang. Fawaz mengakhiri  pertemuan kali itu, ia pamit mengundurkan diri karena masih ada kegiatan yang harus dilakukan.  

Tenda-tenda mulai dirubuhkan. Hari sudah mulai beranjak siang. Kami bersiap  membereskan barang kemudian pergi. Sebagai dokumentasi, semua orang menuju tepi danau  untuk berfoto bersama spanduk. Waktu itu kami juga berpamitan karena akan melanjutkan  perjalanan kembali ke Jogja. Barang-barang dimasukan kedalam mobil. Satu persatu orang juga  mulai mengatur dirinya di dalam mobil. Di perkampungan dekat danau, kami mampir pada  sebuah rumah salah satu penduduk. Rumah tersebut milik seorang penjaga danau dan merupakan  kenalan anggota Bhuana Giri. Setiap kali para anggota BG mendatangi danau, maka kami akan  mengunjungi rumah tersebut. Penjaga sekaligus nelayan Danau Tamblingan adalah seorang pria  paruh baya. Pada depan rumahnya terdapat sampan kayu yang diletakan terbalik. Segelas kopi  dan pisang dikeluarkan dari dapur lalu disuguhkan pada tamunya. Percakapan dilakukan dalam  Bahasa Bali. Ada yang tertidur karena terlalu lelah untuk memahami percakapan yang ada. Ada  pula yang bermain ponsel selagi mencari-cari kegiatan. Pukul 13.00 WITA mobil APV  meninggalkan rumah tersebut. Kali ini lokasi yang dituju adalah Terminal Ubung. Tak lupa kami juga harus mampir untuk mengambil carrier. Sekitar 2 jam kami sampai di tujuan lalu dengan  segera mencari bus tujuan Gilimanuk. Odi harus bersiap dengan proses tawar-menawar agar  mendapat harga yang sesuai. Harga yang disepakati dnegan kernet bus adalah Rp35.000,00  perorang. Menurut perkiraan Odi, malam kami baru sampai di Pelabuhan Gilimanuk dan benar  pukul 20.20 WITA kami sampai. 

Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kapal. Kami menuju loket pembelian tiket  kapal feri. Pelabuhan yang dituju adalah Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Harga tiket perorang  adalah Rp6.500,00. Sebelum menuju kapal, Yusri melakukan salat di musala yang ada di  pelabuhan. Kapal yang digunakan bernama KMP Trisilla Bhakti II, meninggalkan pelabuhan  pada pukul 21.09 WITA. Perjalanan dengan menggunakan kapal ditempuh dalam waktu sekitar  45 menit. Angin malam berhembus kencang, kapal sempat bergoyang karena gelombang laut.  Kami akan memiliki makan malam setibanya di Banyuwangi. Dengan seporsi nasi bungkus  cukup mengisi perut kami. Perjalanan dilanjutkan menuju Stasiun Banyuwangi Baru. Kereta  yang kami tumpangi akan tiba pada pagi hari. Maka malam itu kami putuskan akan mengemper  di stasiun berjejeran dengan penumpang yang lain. Ansen dan Rifqi memutuskan untuk tidak  tidur malam itu. Kami berinisiatif untuk berjaga sambil memasak mie. Kami melakukan itu demi  menjaga barang bawaan.  

Senin, 31 Juli 2017 

Kereta Sri Tanjung tiba di stasiun pada pukul 06.30 WIB. Satu per satu duduk sesuai  dengan nomor tempat duduknya. Yusri, Ansen, dan Rifqi pada satu baris kursi yang sama  berhadapan dengan kursi yang ditempati oleh Fauzia, Odi, dan Monang. Sebelumnya, Fauzia dan  Rifqi sudah membeli bekal sarapan dan makan siang. Selama sekitar 13 jam kami akan  melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta. Rangkaian perjalanan kami akan berakhir di  Sekretariat Satu Bumi. Kereta akan tiba di Stasiun Lempuyangan pada pukul 19.25 WIB. Fauzia  sudah menghubungi Ega untuk menjemput kami. Pada saat tiba di sekretariat, peserta  SWADAYA XI disambut oleh makanan yang sudah dimasak oleh Ayu.  

Leave a Reply

Your email address will not be published.