Kamis, 13 Juli 2017
Perjalanan SWADAYA XI baru dimulai setelah upacara pelepasan pada malam sebelumnya. Malam itu, di bawah naungan langit gelap, tepatnya pukul 19.15 WIB, semua peserta SWADAYA beserta para Anggota Penuh berkumpul membentuk lingkaran di depan sekretariat Mahasiswa Penggiat Alam SATU BUMI. Upacara pun dilaksanakan; ketua menjelaskan rangkaian kegiatan secara umum, senior-senior memberikan pesan, forum membahas perihal teknis keberangkatan hari esoknya, dan hymne SATU BUMI dinyanyikan bersama-sama. Satu-persatu peserta upacara saling bersalaman dan mengucapkan pesan-pesan pribadi. Kemudian semuanya melanjutkan kegiatan masing-masing sebelum akhirnya keenam peserta SWADAYA melaksanakan briefing menjelang tengah malam. Kami memang berencana untuk menginap di sekretariat agar dapat berangkat ke stasiun bersama-sama esok paginya.
Pukul 05.00 WIB, peserta SWADAYA mulai bangun. Fauzia dan Rifqi berangkat mencari sarapan sekaligus makan siang, sesuai kesepakatan malam sebelumnya. Kami pun membeli nasi telur dan nasi ayam masing-masing enam bungkus, serta tak lupa membeli empat botol air mineral. Menunggu makanan ternyata lebih lama dari perkiraan, akhirnya kami berangkat dari sekretariat pukul 06.15 WIB, terlambat 15 menit dari perencanaan. Untungnya, kami tiba di Stasiun Lempuyangan pukul 06.30 WIB, 30 menit sebelum kereta berangkat. Setibanya di stasiun, Odilo mengurus tiket sementara yang lain menunggu, kemudian semuanya berpamitan dengan para senior yang mengantar. Selanjutnya, keenam peserta SWADAYA masuk ke dalam kereta dan menunggu hingga kereta mulai melaju.
Kereta Sri Tanjung melaju tepat pukul 07.00 WIB, sesuai yang tertera di tiket. Rifqi, Ansen, dan Yusri duduk berhadapan dengan Monang, Odilo, dan Fauzia di gerbong 2. Dalam perjalanan, kami sempat mengobrol dengan ibu-ibu paruh baya di kursi sebelah. Lalu, kami pun sarapan sambil mengunyah keripik talas sekitar 20 menit kemudian. Perjalanan diisi dengan obrolan di sela-sela suara pemberitahuan pemberhentian kereta. Siangnya, nasi bungkus kedua kami lahap sebagai makan siang. Ketika sudah lelah mengobrol, kami mengisi perjalanan dengan tidur, karena total perjalanan kereta cukup panjang yaitu 14 jam.
Senja berangsur malam; gelap datang dan lampu di dalam kereta menyala. Pukul 20.50 WIB, kereta tiba di pemberhentian terakhir yang juga merupakan tujuan para peserta SWADAYA, yakni Stasiun Banyuwangi Baru. Kami pun menggendong carrier masing-masing dan turun dari kereta, lalu mampir ke toilet dan musala sebelum akhirnya meninggalkan stasiun menuju pelabuhan. Sebelum sampai ke pelabuhan, kami berhenti di salah satu warung makan dan mengisi perut dengan makanan dan minuman hangat pukul 21.30 WIB. Di sepanjang jalan itu memang terdapat sejumlah warung makan.
Sekitar setengah jam kemudian, para peserta SWADAYA berjalan lagi ke pelabuhan, lalu mengurus tiket penyebrangan. Harga tiket anak sebesar Rp4.500,00, sedangkan harga tiket dewasa sebesar Rp6.500,00. Kami pun berjalan ke dermaga, menaiki KMP Trisila Bhakti yang sedang menurunkan penumpang. Tiba di atas kapal, kami meletakkan carrier dan duduk. Sebagian menyaksikan pemandangan kilau lampu diantara gelapnya lautan malam di luar kapal. Monang asyik kamim momen penyebrangan.
Pukul 22.30 WIB, kapal mulai berangkat mengarungi Selat Jawa. Suara serupa klakson dibunyikan sebanyak dua kali dari kapal. Pemandangan di luar kapal semakin meredup, seiring kapal bergerak menjauhi pelabuhan yang benderang oleh lampu-lampu. Ombak semakin terasa sebab lantai kapal yang kami pijak mulai bergoyang ke kanan dan ke kiri. Beruntung, tidak ada peserta SWADAYA yang mual atau bahkan sampai muntah karena mabuk laut. Perjalanan berlangsung selama sekitar 55 menit. Kami pun tiba di Pelabuhan Gilimanuk, Bali, pada pukul 23.25 WIB atau sama dengan 00.25 WITA.
Jumat, 14 Juli 2017
Tengah malam telah terlewati seiring perjalanan menempuh perbedaan waktu kami jalani. Setelah turun dari kapal feri, keenam peserta SWADAYA harus kembali melangkahkan kaki dengan carrier di punggung masing-masing menuju terminal yang tak jauh dari pelabuhan Gilimanuk. Sepanjang perjalanan, kami ‘disambut hangat’ oleh para pencari rezeki yang mendekati kami silih berganti. “Mau ke mana?” “Sini, sama saya,” “Ayo, mas, sini, langsung berangkat,” dan ucapan-ucapan serupa terlontar dengan logat khas Bali dari para sopir. Odi selaku koordinator lapangan kegiatan sosial masyarakat sekaligus koordinator transportasi SWADAYA XI, bersikap tenang dan terus berjalan di garda terdepan dengan percaya diri. Maka, yang lain mengikuti langkahnya dan tidak mendengarkan tawaran-tawaran sopir yang dikhawatirkan memberi jasa dengan harga melambung.
Ketika sedikit lagi sampai di terminal, seorang laki-laki paruh baya mendekati Odi dan menanyakan lokasi tujuan kami. Odi menjawab bahwa kami akan menuju ke Klungkung. Bapak itu pun mengatakan bahwa bus yang disopirinya bisa langsung membawa penumpangnya ke Klungkung. Selanjutnya, Odi memastikan bahwa bapak itu membawa bus sesuai informasi yang telah dicarinya sebelumnya, yaitu bus kecil dengan nama ‘BAHAGIA’. Setelah yakin bahwa benar, kami mengikuti bapak itu.
Tak sampai sepuluh menit dari ketika baru menapaki Gilimanuk, kami tiba di terminal. Sang bapak hendak memasukkan carrier kami ke dalam bus, sampai saat Odi menanyakan tarif perkepala. Bukannya langsung menyebutkan nominal, bapak itu justru berkata agar Odi membayar tarif ‘seperti biasa’. Odi menanyakan kembali maksud perkataan itu. Bapak itu pun menyebutkan bahwa tarif yang harus dibayar ialah Rp70.000,00. Tidak langsung menerima tarif semahal itu, Odi menawar agar tarif dapat turun menjadi Rp50.000,00.
Terjadilah tawar-menawar di antara kami. Yang lain hanya diam, menyaksikan percakapan kami yang memecahkan keheningan terminal tengah malam. Karena harganya tak juga diturunkan, kami pun menunggu di bangku terminal. Anjing-anjing kampung berkeliaran di sekitar kami—ciri khas Bali dibandingkan tempat-tempat lain di Indonesia. Setelah cukup lama, barulah bapak tadi kembali mendatangi kami dan bernegosiasi dengan Odi. Setelah akhirnya saling sepakat dengan tarif Rp50.000,00 per orang, carrier-carrier pun dimasukkan dan kami menunggu bus berangkat.
Pukul 01.42 WITA, akhirnya bus mulai melaju meninggalkan Giliamanuk. Melintasi jalanan yang sepi, sopir membawa bus dengan cukup kencang sehingga carrier di belakang berkali-kali jatuh dan menimpa Fauzia. Semua tidur karena lelah, kecuali Odi yang mengamati jalan. Tibalah bus di terminal Semarapura, Klungkung, setelah sekitar 6 jam perjalanan. Sebelum ke Klungkung, bus sempat memutar ke Padang Bai terlebih dahulu. Sesampainya di Klungkung, kami kembali mendapat sambutan hangat, kali ini dari para sopir angkot. Namun, kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu di warung dekat terminal. Perut-perut kosong pun diisi dengan nasi dan lauk telur serta ayam suwir dengan harga Rp10.000,00 per porsi.
Setelah mengisi perut yang kelaparan, barulah kami kembali ke terminal dan bernegosiasi soal tarif angkot. Tarif yang mulanya Rp30.000,00 per orang, berhasil ditawar menjadi Rp20.000,00 per orang. Angkot merah dengan jurusan Klungkung-Menanga-Besakih itu pun langsung sesak oleh enam penumpang dan enam carrier. Kurang lebih satu jam waktu perjalanan kami tempuh dari terminal Semarapura hingga sampai di kantor Kepala Desa Besakih. Di Bali, kepala desa disebut sebagai ‘Perbekel’, atau masyarakat biasa memanggil kepala desa dengan sebutan ‘Pak Mekel’ atau ‘Pak Kel’.
Saat baru tiba, Pak Wayan Benya, Perbekel Besakih, belum ada di lokasi. Kami baru bertemu dan mengobrol dengan sekretaris desa. Setelah mengobrol dan disuguhi enam cangkir kopi hangat serta snack, barulah Pak Wayan Benya datang dan menyambut kami di kantor perbekel. Kami pun menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan SWADAYA XI selama di Besakih. Kemudian, kami ditinggalkan sebentar sebelum akhirnya diantar menuju pondokan di Balai Banjar Kedungdung. Sistem regional di Bali memang cukup unik. Secara administratif, di bawah ‘desa’, terdapat tingkat ‘banjar’ (semacam dusun). Kepala banjar disebut dengan klihan. Bahkan, selain desa dinas dan banjar dinas, terdapat pula desa adat maupun banjar adat yang telah ada sejak sebelum zaman kolonial.
Di Balai Banjar Kedungdung, para peserta SWADAYA merapikan tempat dan meletakkan barang-barang. Kami berkenalan dengan Klihan Kedungdung, pria muda dengan tato di sekujur lengannya—dan ternyata juga di badannya—yang kemudian meminta tolong kami untuk menyambungkan kabel lampu di tempat itu. Di Balai Banjar Kedungdung, terdapat lapangan bulu tangkis, lengkap bersama netnya, yang biasa digunakan warga sekitar setiap hari. Mulai dari anak-anak, hingga orang dewasa. Selain itu, rupanya tim SWADAYA datang di saat sedang dilaksanakan Pekan Olahraga dan Seni Desa (Porsenides), sehingga sore nanti, balai akan digunakan sebagai tempat lomba bulu tangkis antar banjar. Kami sendiri mendapat sebuah ruangan kecil yang bersebelahan dengan gudang di dalam balai banjar sebagai tempat untuk tidur. Tetapi sebelum disediakan ruangan, siang itu kami beristirahat di panggung yang terletak di bagian barat banjar.
Saat Monang, Odi, Yusri, dan Ansen beristirahat di balai banjar karena kelelahan, Fauzia dan Rifqi keluar untuk mengobrol dengan pemuda-pemuda yang menjaga di pos karcis masuk Besakih. Usai mengobrol dengan para pemuda, Rifqi kembali ke balai banjar sedangkan Fauzia pergi ke warung depan. Di warung depan, Fauzia berkenalan dengan anak perempuan yang tinggal di belakang warung itu. Gadis bernama Sukasih yang baru menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) itu mengajaknya berkeliling dengan menggunakan sepeda motor ke banjar-banjar di sekitar Kedungdung. Kami mengunjungi teman Sukasih yang bernama Suniasih, siswi kelas satu SMA, yang baru usai membantu orang tuanya mencari rumput untuk sapi kami yang dipelihara di belakang rumah. Masyarakat Desa Besakih memang biasa ke hutan untuk mencari rumput yang kemudian diberikan sebagai makanan sapi.
Namun, karena berkeliling terlalu lama, akhirnya Fauzia kembali ke balai banjar terlalu sore. Yusri, Odi, Ansen, Monang, dan Rifqi rupanya tidak berada di balai banjar, melainkan sedang menonton pertandingan futsal yang diselenggarakan di lapangan belakang balai banjar dalam rangka PORSENIDES. Selepas pertandingan futsal, kami kembali ke balai banjar. Kali ini waktunya pertandingan bulu tangkis dan Rifqi ditugaskan menjadi salah satu linesman. Sembari menunggu, Fauzia dan Odi membeli makanan di warung ‘Nyoman’ yang terletak tepat di sebelah utara balai banjar. Ketika menanyakan harga, kami baru mengetahui bahwa sistem pembelian makanan di warung-warung sekitar Besakih—entah apakah sama untuk seluruh Bali—adalah menyesuaikan pembeli. Pembeli bisa membeli nasi dengan ayam suwir seharga Rp5.000,00; Rp8.000,00; Rp10.000,00; atau Rp15.000,00. Selanjutnya, penjual tinggal menyesuaikan porsinya dengan harga yang diminta.
Pertandingan bulu tangkis pun berakhir. Kami masuk ke dalam ruangan yang menjadi ruang kamar kami untuk menyantap nasi ayam suwir yang telah dibeli di warung Nyoman sebelumnya. Makanan terasa begitu lahap karena kami melewatkan makan siang di hari itu. Kemudian, kami membereskan peralatan makan dan sebagian pergi ke kamar mandi di seberang balai, sebab air di balai tersebut belum diisi. Pukul 20.30 WIB, I Komang Kayun, ketua koordinator pramuwisata bidang pendakian menghubungi Odi dan mengajak bertemu di depan balai banjar. Pria paruh baya berambut panjang yang kerap disapa sebagai Bli Komang ini datang ke depan balai banjar dengan mengendarai motor bersama istri dan anak-anaknya; menyapa hangat Odi, Rifqi, dan Fauzia yang menemuinya. Bli Komang memberitahu bahwa kami dipersilakan untuk ke rumahnya pada hari berikutnya, untuk menyiapkan pendakian yang akan dilaksanakan pada tanggal 16-17 Juli 2017. Setelah selesai mendiskusikan rencana hari esok, Bli Komang dan keluarga pun meninggalkan kami. Ketika seluruh kegiatan pada akhirnya selesai, kami melakukan evaluasi dan briefing bersama-sama.
Sabtu, 15 Juli 2017
Pagi itu, kami bangun menjelang pukul tujuh, cukup terlambat dari waktu yang ditentukan malamnya. Sesuai yang direncanakan, Fauzia pergi ke luar balai dengan mengenakan jaket—karena udara cukup dingin meskipun langit lebih cerah—untuk mencari pedagang sayur keliling, mengingat letak pasar sangat jauh untuk dicapai dengan berjalan kaki. Karena pedagang sayur tak kunjung datang, Fauzia berjalan-jalan ke arah utara dan melihat pemandangan Gunung Agung di bawah birunya langit. Sambil berkeliling, ia berbasa-basi dengan ibu-ibu paruh baya yang tinggal di dekat balai.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya pedagang sayur datang juga. Namun, rupanya hanya sedikit ragam sayur yang tersedia. Tidak semua kebutuhan yang telah dirancang dapat terpenuhi karena pedagang keliling hanya menjual sayur-mayur yang dirasa memiliki harga murah. Selain sayur-mayur, para pedagang keliling yang mengendarai sepeda itu juga menjual aneka jajanan pasar, sebagian buah-buahan,tempe dan tahu, serta daging ayam dan babi. Fauzia membeli sebagian sayur-mayur dan bumbu untuk konsumsi pendakian yang mulai dilaksanakan di hari berikutnya, kemudian kembali ke balai dan bertemu dengan Yulian, Mahasiswa Pecinta Alam Loka Samgraha Universitas Pendidikan Ganesha, Bali. Gadis asal Banyuwangi yang saat ini sedang berkuliah dan tengah menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Klungkung ini memang sudah berencana untuk mendatangi dan bertemu rombongan peserta SWADAYA di Kedungdung sejak hari sebelumnya. Tak disangka pula, pagi itu, Yulian membawakan nasi jinggo untuk sarapan kami.
Selama hampir satu setengah jam, kami mengobrol tentang banyak hal. Mulai dari kegiatan kepecintaalaman masing-masing organisasi, hingga kebiasaan-kebiasaan di Bali yang ingin kami ketahui; mulai dari upacara keagamaan sampai kuliner khas Bali. Setelah itu, para peserta SWADAYA mulai menyiapkan logistik untuk pendakian serta melengkapi konsumsi yang masih kurang. Pukul 11.53 WIB, Odi dan Fauzia berangkat ke rumah Perbekel untuk meluruskan kembali mengenai tujuan kegiatan SWADAYA selama beberapa hari ke depan, keluaran apa yang akan dihasilkan, sekaligus berpamitan karena kami akan meninggalkan Kedungdung untuk melakukan pendakian dari titik start Embung Besakih yang terletak tak jauh dari rumah Bli Komang. Kemudian, Odi dan Fauzia tak lupa untuk menjelaskan bahwa setelah pendakian dilakukan dan data telah lengkap terkumpul, kami bermaksud melakukan presentasi dengan Perbekel dan perangkatnya untuk menjelaskan apa hasil kegiatan kami selama beberapa hari berkegiatan di Desa Besakih. Dari penjelasan tersebut, kami mengajukan tanggal presentasi, hingga akhirnya disepakati bahwa presentasi akan dilaksanakan pada tanggal 20 Juli 2017, pukul 09.00 WIB di kantor perbekel. Usai menuntaskan agenda pembicaraan dengan Perbekel selama kurang lebih satu jam, Odi dan Fauzia meninggalkan rumah Perbekel dan kembali ke balai banjar.
Sementara itu, Yusri, Ansen, Rifqi, dan Monang merapikan ruang tidur kami di balai banjar agar ditinggalkan dalam kondisi baik. Kami juga menyiapkan packing logistik dan konsumsi sesuai dengan pembagian tugas pada briefing di malam sebelumnya. Pukul satu siang, saat Odi dan Fauzia telah tiba di balai banjar, barulah kami melaksanakan makan siang dengan masakan sendiri. Lalu, kami bersiap-siap dan akhirnya berangkat dengan mobil pick-up sewaan ke rumah Bli Komang yang terletak di Banjar Temukus. Sepanjang perjalanan, kami melewati kompleks Pura Besakih dan pepohonan yang masih rindang di kanan kira jalan. Mobil hitam yang mengangkut enam orang, lengkap beserta enam carrier-nya itu melewati jalanan yang berkelak-kelok dan semakin lama semakin tinggi. Hampir satu jam kemudian, kami baru tiba di rumah Bli Komang.
Rumah itu terletak di bawah Embung Besakih dan kebun pembudidayaan edelweis. Bukan hanya rumah keluarga yang dibangun sesuai dengan asta kosala kosali, di sana terdapat pula warung yang berjarak beberapa langkah dari rumah. Warung itu menjual sebagian makanan dan minuman instan. Biasanya, pendaki bersiap-siap naik atau beristirahat setelah turun dari Gunung Agung di bangku-bangku yang terdapat di warung tersebut. Mobil yang parkir di depan warung, meninggalkan kami bersama Bli Komang dan keluarganya yang sudah siap menyambut di warung. Kami pun diarahkan ke rumah Bli Komang dan ditunjukkan tempat istirahatnya. Sebuah pendopo kecil di selatan pura keluarga dapat kami gunakan sebagai tempat menaruh barang dan beristirahat. Namun, setelahnya kami dipersilakan untuk tidur di dalam kamar karena udara akan terasa sangat dingin pada malam hari.
Carrier dan peralatan lainnya telah kami letakkan di pendopo tersebut. Sambil menunggu hari berganti, kami pun mengobrol dengan Bli Komang di areal semiterbuka dalam rumah. Bli Komang menjelaskan banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Bali, mulai dari aturan dalam membangun rumah—bahwa rupanya, pura keluarga dibangun menghadap ke Gunung Agung dan ke timur (arah matahari terbit sebagai simbol perwujudan Dewa Siwa), bagaimana keterikatan masyarakat Bali dengan adat untuk meneruskan tanah keluarga, dan sebagainya. Setelah ditelisik pun kami baru mengetahui bahwa ternyata koordinator guide Gunung Agung ini merupakan seorang pemangku atau jro mangku, yaitu pemikul tanggung jawab sebagai pelayan Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan masyarakat. Maka, kami tak lagi heran mengapa beliau juga amat mengerti tentang keagamaan Hindu, termasuk makna filosofis dan sejarahnya.
Kemudian, kami pun berjalan-jalan di sekitar rumah Bli Komang. Menuju senja, kami bermain di sekitar Embung Besakih yang terletak tak jauh di atas kebun pembudidayaan edelweis bersama Bagus, putra Bli Komang yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Saat matahari telah tergelincir di bawah horizon, kami kembali ke rumah untuk kemudian masak, makan, dan kembali mengobrol dengan Bli Komang. Selain bercerita tentang cerita unik Bali yaitu leak, beliau juga menjelaskan tentang pendakian di hari berikutnya. Beliau memberitahu pada para peserta SWADAYA bahwa kami akan mendaki dengan ditemani Bli Wayan Suthe, guide yang tinggalnya bertetangga dengan Bli Komang. Dengan secarik kertas dan sebuah pena, Bli Komang juga memberi gambaran mengenai jalur dan tempat camp yang akan kami tempuh dalam pendakian besok. Setelah merasa cukup dan lelah karena waktu semakin malam, kami pun mengakhiri pembicaraan, melakukan evaluasi dan briefing, kemudian tidur di dalam salah satu kamar yang disediakan oleh Bli Komang.
Minggu, 16 Juli 2017
Pada hari pertama pendakian, para peserta SWADAYA bangun pukul 05.30 WITA. Kami langsung berbagi tugas untuk memasak, mempersiapkan logistik untuk dibawa dan mendokumentasikan pemandangan di sana. Kami selesai memasak dan mulai sarapan pada pukul 07.15 WIB. Setelah selesai sarapan, kami langsung membereskan tempat kami bermalam dan langsung bergegas untuk memulai pendakian. Kami berkoordinasi dengan Bli Komang mengenai pendakian kami. Namun, ternyata Bli Komang mendapat undangan mendadak untuk rapat koordinasi di kecamatan sehingga beliau tidak dapat mengantarkan kami selama pendakian. Oleh sebab itu beliau meminta tolong kepada Bli Wayan Suthe untuk mengantarkan kami selama pendakian. Setelah berdoa dan briefing bersama Bli Komang dan Bli Wayan, kami memulai pendakian pukul 08.40 WITA. Pendakian dimulai dari basecamp rumah Bli Komang.
Di awal pendakian, para peserta SWADAYA melewati embung atau tempat penampung air hujan. Embung tersebut digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, kami banyak melewati ladang-ladang warga. Rata-rata ladang di sana ditanami dengan bunga edelweis, gemitir, dan pecah seribu. Namun tidak jarang warga yang menanam kubis di ladangnya. Selain itu banyak warga yang beternak sapi. Namun, sapi di sini tidak untuk dikonsumsi, tetapi digunakan untuk dipersembahkan saat upacara adat. Selama pendakian ini kami juga menanyakan berbagai informasi mengenai Gunung Agung.
Kondisi jalur di satu jam pertama relatif datar, tidak terlalu menanjak. Vegetasinya pun terbilang terbuka, didominasi ilalang dan pohon albisia. Tidak jarang kami bertemu warga yang mengambil rumput untuk ternak-ternak kami. Setelah berjalan selama 1 jam, pada pukul 09.55 WITA, kami menemukan tempat yang dapat digunakan sebagai shelter dan terdapat pelinggih. Tempat tersebut berada pada koordinat 08º21’25,4” LU dan 115º28’29,5” BT. Tempat tersebut muat untuk 1 tenda. Di sana Bli Wayan sembahyang dan menaruh canang, kami pun juga berdoa menurut keyakinan masing-masing untuk meminta izin.
Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan. Kondisi jalur masih sama relatif datar, namun vegetasi mulai lebat. Vegetasi yang tumbuh di sana didominasi tumbuhan paku, lemputu, dan pinus. Pada pukul 10.55 kami menemukan pertigaan dan mengambil ke kiri. Tidak jauh dari pertigaan tersebut, terdapat sungai musiman. Saat kami melewati sungai tersebut, aliran airnya tidak ada, karena pada saat itu adalah musim kemarau. Sekitar 15 menit setelahnya kami menemukan shelter. Shelter tersebut juga hanya dapat digunakan untuk 1 tenda.
Pada pukul 11.34 WITA, para peserta SWADAYA bertemu dengan sebuah pertigaan yang terdapat pelinggih di tengah-tengahnya. Pertigaan tersebut merupakan titik temu jalur yang kami lewati, yaitu yang dimulai dari Embung Datah II, dengan jalur yang dimulai dari Pura Pengubengan. Pertigaan pelinggih ini—selanjutnya akan disebut sebagai Pelinggih 2—berada pada koordinat 08º21’01,7” LU dan 115º28’42,3” BT. Di sana, Bli Wayan kembali sembahyang dan menaruh canang. Jalan di sekitar Pelinggih 2 cukup licin karena medan yang agak berlumpur. Tiga puluh menit kemudian, kami istirahat dan makan snack.
Perjalanan dilanjutkan pada pukul 12.13 WITA. Kondisi medan menjadi lebih menanjak dari sebelumnya. Vegetasi menjadi lebih didominasi hutan pinus. Di tengah perjalanan, kami sempat bertemu dengan rombongan warga yang melakukan upacara adat. Rombongan tersebut mengambil air suci dari Tirta Giri Kusuma dan bertemu dengan para peserta SWADAYA pada saat rombongan tersebut turun. Seluruh rombongan yang terdiri dari sekitar 30 orang ini berpakaian serba putih.
Pukul 13.30 WITA, para peserta SWADAYA bertemu pertigaan yang mengarah ke Tirta Giri Kusuma. Akhirnya kami memutuskan untuk membagi tugas, dimana sebagian tim masak untuk makan siang, sedangkan Odi, Monang, dan Bli Wayan menuju Tirta Giri Kusuma untuk melakukan pengumpulan data. Perjalanan dari pertigaan ke mata air suci Tirta Giri Kusuma sekitar 30 menit. Tirta Giri Kusuma sendiri berasal dari kata tirta yang berarti ‘air’, giri yang berarti ‘gunung’, dan kusuma yang berarti ‘menyempurnakan’. Tirta Giri Kusuma merupakan salah satu dari sembilan tirta suci yang berada dalam kompleks Pura Agung Besakih. Mata air suci tersebut berada di sebelah sungai musiman, pada koordinat 08º20’48,3” LU dan 115º28’58,7” BT. Namun ternyata mata air tersebut tidak memiliki banyak air. Alirannya hanya sedikit sehingga biasanya warga yang mengambil air untuk adat, cukup mengambil sekitar 1 botol kecil saja dalam satu rombongannya. Di Tirta Giri Kusuma juga terdapat Pura Giri Kusuma sehingga Odi, Monang, dan Bli Wayan sembahyang di sana. Namun karena sering digunakan dalam untuk adat dan sembahyang, lingkungan di sekitar pura tersebut menjadi kotor dengan sampah-sampah bekas sesajen. Setelah observasi dan menggali data di sana dirasa cukup, Odi, Monang, dan Bli Wayan kembali ke pertigaan untuk makan siang.
Makan siang selesai dilaksanakan pada pukul 14.30 WITA. Perjalanan pun dilanjutkan dengan tujuan tempat camp. Kondisi medan berikutnya beraneka macam, mulai dari tanah, pasir, dan kadang melewati bebatuan. Vegetasi pun mulai jarang, didominasi tanaman perdu dan lamtoro. Kami sampai di Camp 1 pukul 15.45 WITA. Tempat ini berada pada 08º20’37,1” LU dan 115º29’10,1” BT dan berkapasitas 2-4 tenda. Kemudian kami langsung melanjutkan perjalanan agar tidak terlalu malam saat sampai di tempat camp target kami.
Pada pukul 17.05 WITA, perjalanan telah mencapai Camp 2. Tempat ini berada pada 08º20’33,2” LU dan 115º29’24,8” BT dan berkapasitas 3-5 tenda. Dari Camp 2, tebing tempat Kori Agung sudah terlihat. Jarak dari Camp 2 ke Kori Agung hanya sekitar 15 menit. Di Kori Agung ini terdapat pelinggih sehingga Bli Wayan sembahyang dan menaruh canang di sini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Kori Agung merupakan gerbang untuk menuju ke kerajaan dewa di Gunung Agung. Kori Agung berada tepat di sebelah tebing tinggi pada 08º20’33,2” LU dan 115º29’24,8” BT. Kori Agung ini juga menjadi batas kondisi medan, dimana pada kondisi sebelumnya medan berupa tanah dan kadang pasir, namun setelah Kori Agung medan menjadi tanah cadas dan batu-batuan.
Setelah itu, keenam peserta SWADAYA melanjutkan perjalanan dengan membagi 2 tim, yakni Odi, Rifqi, Fauzia dan Bli Wayan sebagai tim yang berjalan duluan agar bisa mendirikan tenda, serta Monang, Ansen, dan Yusri sebagai tim yang mengambil dokumentasi matahari tenggelam di belakang. Senja itu, matahari memang meredup dengan bias lembayung yang amat indah. Sinarnya yang menerpa pepohonan dan semak Gunung Agung, serta bundar matahari yang perlahan lenyap ditelan barisan awan di ketinggian, membuat pemandangan senja itu begitu sayang apabila dilewatkan. Usai memotret untuk mendapatkan bahan timelapse, Monang, Ansen, dan Yusri berjalan menyusul ketiga rekan dan guide pendakiannya.
Para peserta SWADAYA mulai membangun tenda pukul 18.00 WITA. Bli Wayan membantu kami dalam menyiapkan tempat untuk membangun tenda karena tempatnya yang sempit. Camp 3 berada pada 08º20’32,7” LU dan 115º29’34,4” BT dan hanya bisa digunakan untuk satu tenda saja. Tempat kemah ini berada di suatu rekahan sehingga cukup aman dari terpaan angin. Lalu, kami memasak pukul 19.30 WITA dan mulai makan malam pada pukul 21.30 WITA. Setelah makan, kami melakukan evaluasi dan briefing, kemudian istirahat. Karena hanya muat untuk satu tenda, maka satu tenda tersebut hanya diisi oleh lima orang, sementara Monang memilih tidur di teras tenda bersama dengan Bli Wayan.
Senin, 17 Juli 2017
Pada hari kedua pendakian Gunung Agung via Jalur Besakih, para peserta SWADAYA bangun pukul 05.00 WIB dan mempersiapkan logistik yang akan dibawa untuk ke puncak. Odi, Fauzia, Ansen, Monang, dan Bli Wayan berangkat pukul 05.50 WIB, sementara Rifqi bertugas untuk menjaga tenda dan masak nasi. Medan menuju ke puncak terbuka dengan medan tanah cadas. Vegetasi yang tumbuh di daerah itu hanya bunga edelweis.
Gunung Agung memiliki tiga puncak, dimana Puncak 3 merupakan puncak tertinggi dan letaknya tepat di bibir kawah Gunung Agung. Setelah mendaki tanpa beban kecuali sebuah carrier yang berisi logistik keperluan summit, kami sampai di Puncak 1 pada pukul 06.45 WITA. Puncak 1 berada pada 08º20’30,8” LU dan 115º29’43,1” BT dan dari sini keseluruhan daerah di sekitar Gunung Agung sudah mulai terlihat. Kemudian, perjalanan menuju Puncak 2 dilanjutkan. Pada pukul 07.00 WITA, Puncak 2 yang berada pada 08º20’25,2” LU dan 115º29’54,4” BT ini telah kami capai. Di tempat ini, terlihat jelas Gunung Rinjani, Gunung Batur, Gunung Raung, Bukit Kintamani, Bukit Abang, dan Danau Batur. Dari Puncak 2, tim dibagi menjadi 2 yaitu
Yusri dan Ansen yang memutuskan untuk tetap tinggal di Puncak 2, sedangkan Fauzia, Odi, dan Monang menuju ke Puncak 3. Kami bertiga sampai di Puncak 3 pukul 07.50 WITA. Puncak ini berada pada 08º20’29,3” LU dan 115º30’11,9” BT dan berada tepat di pinggir kawah. Dari Puncak 3, keseluruhan kawah dan lautan di utara Pulau Bali, serta Gunung Rinjani di sebelah timur terlihat dengan jelas apabila cuaca mendukung.
Kelima peserta SWADAYA serta Bli Wayan berkumpul kembali di Puncak 2. Kami berfoto bersama serta mengganjal perut dengan wafer dan susu hangat. Setelah puas berada di sana, kami turun ke tempat camp pukul 08.20 WITA. Kami sampai di tempat camp pukul 09.00 WITA, kemudian langsung memasak dan membereskan tenda. Kegiatan dilanjutkan dengan sarapan yang kami habiskan pukul 10.15 WITA, lalu kami langsung packing untuk persiapan turun. Kami mulai turun pada pukul 10.45 WITA.
Berdasarkan diskusi dalam evaluasi pada malam sebelumnya, kami berusaha untuk turun dengan cepat dan menghemat penggunaan air. Sebab, pada saat naik di hari sebelumnya, kami terlalu sering istirahat serta boros air. Kami turun dengan cepat dan sampai di Kori Agung pada pukul 11.30 WITA, kemudian sampai di Camp 1 pukul 11.45. Namun, di tengah perjalanan, salah satu peserta SWADAYA XI, Fauzia, mengalami masalah pada sepatunya dan cedera pada bagian pinggang sehingga ia tidak bisa turun dengan cepat. Sepatu Fauzia pun jebol, terpaksa ia melanjutkan perjalanan dengan sandal gunung. Kemudian, para peserta SWADAYA membagi beban dengan membawakan carrier Fauzia secara bergantian agar bisa turun dengan lebih cepat. Kami sempat sering terbagi menjadi dua ketika perjalanan turun karena kecepatan yang berbeda.
Keenam peserta SWADAYA serta Bli Wayan sampai di Pelinggih 2 kemudian istirahat makan snack di sana pada pukul 16.30 WITA. Setelah itu, Bli Wayan bersedia membawakan carrier Fauzia dan kami pun melanjutkan perjalanan turun. Kami berjalan turun secara beriring iringan, namun kami terbagi lagi menjadi 2 dan sampai basecamp pada pukul 19.00 dan 19.15 WITA. Sesampainya di basecamp, kami beristirahat di warung tempat Bli Komang sambil membeli makanan dan minuman. Pukul 20.15 WITA, kami mulai masak dan sebagian membersihkan diri secara bergantian. Akhirnya kami makan malam pada pukul 21.45 WITA. Setelah selesai makan malam, kami melakukan evaluasi dan briefing untuk keesokan hari, lalu beristirahat.
Selasa, 18 Juli 2017
Pagi itu, para peserta SWADAYA bangun pukul enam pagi kemudian langsung membereskan diri dan barang-barang. Sebab, kami akan kembali dari rumah Bli Komang ke balai banjar Kedungdung. Kami telah menghubungi Bli Wayan, guide pendakian kemarin, untuk mengantar kami dengan menggunakan mobil pick-up. Namun ternyata pick-up tidak bisa mengantar tepat waktu karena Bli Wayan sedang mengambil rumput. Akhirnya, untuk mengoptimalkan waktu, kami memasak nasi terlebih dahulu. Sehingga, kami tinggal membeli lauk dan sayur ketika di bawah.
Pukul 09.10 WITA, pick-up yang mengangkut keenam peserta SWADAYA dan carrier nya mulai berangkat dari Banjar Temukus menuju Banjar Kedungdung. Hanya dua puluh menit perjalanan, kami telah tiba di balai banjar. Sesampainya, kami langsung melakukan pekerjaan sesuai pembagian tugas pada briefing di malam sebelumnya. Fauzia dan Ansen membelikan ikan mujair bumbu nyat-nyat dan capcai, masing-masing dua porsi untuk dimakan berenam. Selanjutnya, kami pun memakan makanan tersebut dengan lahap.
Setelah makan, Fauzia dan Monang pergi mengumpulkan data yang belum terkumpul di Pura Pengubengan. Kami berangkat dengan meminjam motor warga yang rumahnya berada di dekat balai banjar, kemudian menemui pemangku di Pura Pengubengan. Monang asyik mendokumentasikan setiap momen dari luar hingga ke dalam pura. Pura Pengubengan terdiri dari tiga bagian utama, yaitu purian (tempat persembahyangan utama yang berada di bagian dalam), jaba tengah (terletak di bagian tengah), dan jaba pisan (luar). Sebenarnya, tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam purian. Tetapi, karena pemangku mengizinkan dan bersedia menemani ke dalam, kami pun boleh masuk ke dalam purian.
Pada mulanya, Pura Pengubengan terdiri dari 1 pelinggih, 1 meru (bangunan tinggi yang memiliki atap bertingkat), dan 2 bale tengah. Menurut pemangku, pura ini baru dipugar, direnovasi, dan dibangun menjadi lebih besar serta lengkap pada tahun 2008. Seperti pura pada umumnya, struktur utama bangunan Pura Pengubengan terbuat dari batu, kayu, dan atapnya dari ijuk. Pada beberapa bagian, terdapat busana pura berupa kain putih-kuning, perada (terletak di atas atap pura), serta payung. Penguasa yang bersemayam di pura ini adalah Naga Taksaka. Di gerbang yang membatasi purian dan jaba tengah, serta di tangga menuju meru 11 tingkat, terdapat ukiran berbentuk sepasang naga.
Selesai mengumpulkan data, Fauzia dan Monang kembali ke balai banjar kemudian melanjutkan melengkapi data kebudayaan jalur Besakih. Makan siang terlewati karena hari semakin sore dan kami belum sempat memasak. Yusri keluar membeli snack untuk dimakan bersama sebagai pengganjal perut. Para peserta SWADAYA pun lanjut memasak untuk makan malam, kemudian melakukan evaluasi dan briefing, serta beristirahat.
Rabu, 19 Juli 2017
Mentari pagi terbit; tempias sinarnya jatuh di pelataran pura depan balai banjar Kedungdung. Pukul enam pagi, Fauzia dan Yusri telah berada di rumah tetangga untuk berbelanja pada tukang sayur keliling yang berhenti di rumah tersebut. Sementara itu, peserta SWADAYA lainnya memasak nasi, lauk, dan sayur untuk sarapan pagi itu. Ketika keluar dari balai, kami bertemu dengan keramaian masyarakat desa menuju lapangan. Rupanya, pukul 7.30 WITA akan diadakan gotong royong untuk menjaga kebersihan lapangan usai digunakan pada rangkaian acara PORSENIDES. Maka, Odi, Monang, dan Rifqi ikut membatu gotong royong di lapangan sampai selesai. Sementara itu, Ansen memasak nasi dan menyiapkan sarapan di dalam balai banjar. Barulah pada pukul 09.45 WITA, keenam peserta SWADAYA menikmati sarapan setelah sebelumnya telah mengganjal perut dengan jajanan pasar yang ikut dibeli saat belanja bahan makanan.
Usai sarapan, Monang dan Yusri berangkat ke Puri Dalem Pura untuk mendokumentasi upacara yang sedang diadakan dalam rangka rerainan (hari suci) Kajeng Kliwon Enyitan. Namun, ternyata tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam pura saat upacara keagamaan berlangsung, sehingga kami tidak jadi mendokumentasi upacara adat tersebut.
Kemudian, supaya mengetahui langsung keadaan lokasi yang sekiranya bisa dipasangi infografis dari kebudayaan di sepanjang Jalur Besakih—output SWADAYA yang sebelumnya telah direncanakan untuk diletakkan di Desa Besakih—Odi dan Rifqi berangkat menuju pos polisi dekat titik start pendakian menggunakan motor yang dipinjam dari warga sekitar. Kami juga melakukan survei dengan memeriksa tempat-tempat sekitar, agar sekiranya terdapat alternatif lokasi pemasangan infografis lainnya. Sementara itu, di balai banjar, dilakukan rekap data kebudayaan Jalur Besakih dengan menuliskan informasi yang direkam dari pembicaraan dengan guide pada saat pendakian di hari sebelumnya.
Setelah Odi dan Rifqi telah kembali dari survei, kami pun makan siang dengan masakan yang telah disiapkan pukul 11.30 WITA tadi. Kemudian, kegiatan kami dan merapikan data kembali dilanjutkan sedangkan Monang pergi untuk mendokumentasikan hutan desa dan Pura Pengubengan bersama Yusri. Memang, sebelumnya Monang sudah mengambil gambar Pura Pengubengan yang eksotis. Akan tetapi, saat itu cuaca mendung sehingga gambar yang diambil kurang bagus. Sehingga, Monang memutuskan untuk kembali mengambil gambar siang itu.
Malamnya, setelah semua telah berkumpul kembali di balai banjar setelah kegiatan masing-masing sesuai briefing pada hari sebelumnya, merupakan waktunya menikmati makan malam. Kemudian, kami membicarakan hasil survei lokasi penempatan infografis. Di pos polisi yang telah dibicarakan sebelumnya belum terdapat peta informatif. Namun, di sekitar sana terdapat kios-kios yang memenuhi tempat sehingga belum ditemukan tempat yang cocok untuk memasang infografis. Selain pos polisi, alternatif tempat lainnya adalah di basecamp Pengubengan (pos kecil sebelum memulai pendakian melalui Pura Pengubengan). Tempat itu memungkinkan untuk dipasangi infografis, namun kekurangannya, di sana sepi pengunjung. Maka dari itu, malam nanti kami perlu membahas beberapa hal dengan Bli Komang. Sebelumnya, kami telah membuat janji untuk bertemu Bli Komang malam ini. Tetapi karena Bli Komang belum juga datang, kami memutuskan untuk melakukan evaluasi terlebih dahulu.
Rupanya, di tengah evaluasi, Bli Komang datang ke balai banjar. Suara mesin motor yang menderu, memecah keheningan malam Banjar Kedungdung yang selalu seperti itu setiap saat— sejauh yang kami rasakan selama beberapa hari ini, malam selalu sepi. Kami pun menghentikan evaluasi dan segera ke depan balai banjar untuk menyambut Bli Komang. Bli Komang tersenyum hangat dengan mata meneduhkan; ia mengenakan pakaian serbaputih di balik jaket hitamnya. Pakaian itu sama seperti pakaian yang dikenakan rombongan masyarakat serta pemangku yang kami temui ketika sudah dekat dengan Tirta Giri Kusuma pada pendakian yang lalu.
Bli Komang, Odi, Ansen, Yusri, dan Fauzia duduk di panggung depan kamar kami, memulai pembicaraan. Monang pun menyiapkan teh hangat untuk diserahkan kepada Bli Komang. Pembicaraan dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai informasi kebudayaan di sepanjang jalur Besakih yang masih belum didapat dari guide. Bli Komang pun menjawabnya secara lengkap, bahkan terkadang pembicaraan sampai melebar kemana-mana. Obrolan malam itu menjadi cukup panjang dan luas, hingga malam berangsur larut dan akhirnya semua kebutuhan informasi terpenuhi sehingga obrolan dapat disudahi.
Selanjutnya, seluruh peserta SWADAYA berfoto bersama Bli Komang di dalam balai banjar, karena pada hari-hari sebelumnya kami lupa untuk berfoto bersama. Kemudian, Bli Komang pun pamit dan kembali ke rumahnya. Keenam peserta SWADAYA kembali ke dalam kamar; melanjutkan evaluasi dan briefing yang sempat terhenti karena kedatangan Bli Komang tadi. Kami pun sekaligus melengkapi informasi yang baru saja diperoleh dari Bli Komang dalam pembicaraan barusan.
Setelah itu, para peserta SWADAYA baru menyadari sesuatu hal yang penting. Besok merupakan hari presentasi dan kami belum merumuskan serta menyiapkan apa saja yang perlu dipresentasikan. Maka, malam itu kami segera mengebut membagi tugas. Pertama-tama, kami merumuskan apa saja yang akan dipresentasikan esoknya. Setelah garis besar isi penyampaian telah terbentuk, Odi yang akan menjadi presenter berlatih melakukan presentasi di hadapan Yusri dan Ansen, untuk mengetahui berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk menyampaikan hasil kegiatan kami selama beberapa hari di Desa Besakih. Sementara itu, Fauzia mengerjakan desain gambaran infografis yang akan kami hasilkan nantinya.
Kamis, 20 Juli 2017
Sekitar pukul satu pagi, Odi baru tidur setelah yang lainnya sudah lebih dulu pergi ke alam mimpi; sedangkan sekitar pukul tiga pagi Fauzia akhirnya tidur juga. Pagi itu, kami sarapan dengan nasi jinggo seharga lima ribu rupiah perbungkus yang dibeli di warung seberang lapangan yang tak jauh dari balai banjar. Yusri mengambil sejumlah gorengan dan air mineral gelas sebagai snack yang akan dibagikan kepada perangkat desa pada presentasi nanti. Kami pun juga bersiap-siap untuk pergi dengan memasukkan semua barang bawaan ke carrier masing-masing, serta merapikan kamar dan ruangan yang akan kami tinggalkan. Kemudian, kami mengunci ruangan dan mengantarkan kuncinya ke Klihan Kedungdung sekaligus berpamitan.
Kami pun menunggu angkot yang akan mengantarkan ke kantor perbekel. Pada hari sebelumnya, Odi memang sudah menghubungi angkot merah yang mengantar kami ketika baru sampai di Klungkung tersebut. Menurut kesepakatan kami, seharusnya angkot tiba di balai banjar pukul 8.00 WIB. Namun, meski waktu telah menunjukkan pukul delapan lewat dan keenam peserta SWADAYA telah siap, yang ditunggu belum juga datang! Tentu ini membuat kami semua harap-harap cemas, karena sebelumnya sudah membuat janji dengan Perbekel untuk melakukan presentasi sekitar pukul 9 pagi. Berkali-kali, Odi mencoba menelepon, menghubungi sopir angkot tersebut.
Ketika panggilan diangkat, sopir angkot mengatakan bahwa terdapat kecelakaan di Menang, sehingga ia akan terlambat tiba di balai banjar. Karena tidak bisa melakukan apapun, kami diam saja menunggu angkot sambil beristirahat di balai banjar. Tak lupa, kami juga menghubungi Perbekel, menyatakan bahwa kemungkinan terjadi keterlambatan untuk sampai di kantor perbekel. Hingga satu jam setelah waktu yang ditentukan, akhirnya angkot datang juga. Kami segera memasukkan keenam carrier dan diri masing-masing ke dalam angkot, lalu berangkat dari balai banjar sekitar pukul 09.00 WIB.
Sesampainya di dekat kantor perbekel, keenam peserta SWADAYA turun dari angkot dan berjalan masuk ke areal semiterbuka kantor perbekel. Ansen menunggu di luar karena ia mengenakan celana pendek, sekaligus menjaga barang-barang yang ditinggal di dalam angkot. Ketika bertanya kepada salah satu pegawai yang standby di kantor perbekel, rupanya Pak Kel sedang keluar karena ada rapat di kecamatan. Lebih lagi, pegawai tersebut tidak tahu akan sampai jam berapa rapat Pak Kel akan selesai.
Ini bukan kabar baik bagi para peserta SWADAYA yang sudah berencana untuk kembali sebelum siang. Apabila rundown tidak diikuti, maka angkot harus menunggu lebih lama dan biaya tentu bertambah. Di samping itu, belum tentu ada bus yang bisa mengantar dari Klungkung ke terminal berikutnya. Ini benar-benar terjadi di luar rencana, dan belum terpikirkan rencana cadangan sama sekali sebelumnya.
Akhirnya, kami memutuskan untuk mencetak file pendukung presentasi dengan printer kantor terlebih dahulu (tidak ada proyektor di kantor itu) sambil memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Tak lupa, kami juga menghubungi kembali Perbekel melalui pesan singkat agar tidak mengganggu rapat beliau. Beberapa lembar kertas telah tercetak hitam-putih dan diskusi berlangsung. Dari diskusi tersebut, terdapat beberapa solusi yang dapat dipilih. Pertama, menunggu sampai Perbekel selesai rapat dan melanjutkan presentasi sesuai rencana, kemudian mencari alternatif transportasi dari Klungkung. Kedua, menunda presentasi sampai selesai pendakian kedua, tetapi infografis sudah harus selesai dicetak dan file pendukung presentasi harus ditinggalkan sebelum kami pergi ke Denpasar. Dari pilihan itu, tentu dirasa pilihan kedua merupakan pilihan paling bijaksana. Maka, kami pun memilih untuk menunda saja presentasinya.
Saat kelima peserta SWADAYA telah mulai menyampaikan perubahan rencana tersebut kepada pegawai kantor, tiba-tiba sebuah pesan singkat dari Pak Kel masuk ke nomor ponsel Odi. Rupanya, Pak Kel akan segera datang dan meminta tolong supaya kami tetap bertahan di kantor perbekel dan menunggu hingga beliau tiba.
Mendengar kabar itu, akhirnya kami pun kembali duduk dan menunggu. Hingga akhirnya, Pak Kel datang juga. Kami pun bersalaman satu persatu, dan Pak Kel memohon maaf atas kepergiannya yang mendadak untuk urusan rapat di kecamatan. Selain itu, rupanya tidak ada perangkat desa lain sehingga presentasi tidak dilakukan sesuai rencana sebelumnya. Ketimbang presentasi, penyampaian hasil kegiatan selama beberapa hari di Desa Besakih lebih tepat jika dikatakan sebagai dilakukan dengan cara bincang-bincang santai bersama Pak Kel di areal semiterbuka Kantor Perbekel Desa Besakih.
Kami menyerahkan file pendukung presentasi berupa selembar kertas berisi penjelasan kegiatan kami selama di Besakih dalam bentuk poin-poin, serta selembar kertas lainnya yang berisi gambaran infografis yang akan kami buat secara detail dan dicetak sebagai banner nantinya. Setelah itu, kami berpamitan dan meninggalkan Besakih dengan menaiki angkot merah yang telah menunggu sedari tadi.
Perjalanan menuju terminal Batubulan ditempuh dalam waktu sekitar dua setengah jam. Dalam perjalanan, kami menghabiskan snack yang tak jadi dibagikan karena sedikitnya orang yang datang, serta tidur karena kelelahan. Sesampainya di Batubulan, kami pun makan siang kemudian melanjutkan perjalanan dengan menaiki bus Trans Sarbagita. Dari Batubulan, kami perlu transit ke salah satu halte, barulah kemudian melanjutkan perjalanan lagi hingga tiba di halte KOTA. Dari situ, kami berjalan kaki menuju Universitas Mahasaraswati (UNMAS), tempat sekretariat Bhuana Giri berada. Di lokasi terdapat banyak sekali kampus dan sekolah, mulai dari SD hingga kuliah.
Kami tiba di depan sekretariat Mapala Bhuana Giri (BG) pukul 16.30 WITA. DI sana belum ada orang, sehingga kami meletakkan beban carrier lalu beristirahat di bangku yang terletak di koridor gedung depan bangunan sekretariat. Cuaca cukup lembab dan gerah ketika kami menunggu Angga dan kawan-kawan sore itu. Matahari bersinar terik, hingga akhirnya datanglah anggota Mapala BG satu persatu. Kami pun dipersilakan masuk, menaruh barang, kemudian mengobrol bersama orang-orang yang ada di sana. Dari sore hingga malam, para peserta SWADAYA memutuskan untuk tidak mencari makan sendiri karena melihat keadaan terlebih dahulu, khususnya seperti apa pecinta alam di daerah setempat bertamu. Maka hari itu, kami hanya berkegiatan bebas bersama teman-teman baru, menyelingi dengan kegiatan rutin harian yaitu evaluasi dan briefing, barulah kemudian kami istirahat. Sebagian tidur di ruangan Mapala BG, sebagian lagi tidur di ruangan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kempo yang letaknya hanya di depan ruangan Mapala BG. Ruangan UKM Kempo memang sering tidak dipakai, sehingga justru digunakan oleh para anggota Mapala BG.
Jumat, 21 Juli 2017
Sekitar pukul tujuh pagi, para peserta SWADAYA bangun satu persatu. Ada yang mandi, ada juga yang hanya mencuci muka serta menyikat gigi. Kampus sudah sangat ramai dan jalanan diisi penuh oleh motor sehingga sangat sulit untuk dilewati meskipun hanya berjalan kaki. Perut yang sejak semalam tidak diisi, keroncongan dan mengisyaratkan meminta asupan gizi. Karena tidak ada tanda-tanda kegiatan makan dari anggota Mapala BG sendiri, akhirnya para peserta SWADAYA berangkat mencari makan pada pukul 10.00 WITA ke pasar yang letaknya tak jauh dari kampus. Kami pun makan di Warung Banyuwangi, di mana warung tersebut merupakan warung Jawa Muslim—sebagian warung menjelaskan dengan pasti bahwa warung tersebut merupakan warung muslim mengingat banyaknya populasi Hindu di Bali. Di sana, tiga orang memesan nasi ayam, dan tiga orang lainnya memesan nasi telur.
Selanjutnya, Ansen dan Rifqi meminjam motor salah satu anggota Mapala BG untuk memasukkan baju-baju kotor kami ke laundry supaya persediaan baju kami cukup. Selain itu, kami juga melakukan survei untuk mencari percetakan alternatif. Sebab, kami berencana untuk mencetak banner infografis dan menyerahkannya kepada pihak perbekel Besakih sebelum kembali ke Yogyakarta.
Ansen dan Rifqi pun kembali dengan nota-nota laundry. Kami menjelaskan bahwa terdapat satu percetakan yang cukup dekat dengan sekretariat Mapala BG. Percetakan tersebut menyediakan jasa percetakan yang sanggup menyelesaikan pekerjaan dalam waktu 1×24 jam dengan tarif di bawah Rp20.000,00 per meter perseginya. Selanjutnya, kami melanjutkan kegiatan dengan mengobrol santai. Sore itu pula, Fauzia melakukan latihan fisik dengan naik turun tangga 2 lantai sebanyak 30 kali sambil membawa carrier yang diisi penuh agar ia kuat ketika di lapangan nanti. Sementara itu, kelima peserta SWADAYA lainnya menikmati sore di bangku koridor depan sekretariat sambil mengobrol.
Sore itu, Adam, seorang mapala dari Makasar yang pernah tinggal di sekretariat SATU BUMI selama berbulan-bulan, mendatangi para peserta SWADAYA di UNMAS. Kami pun menyambutnya dengan saling berkenalan kemudian mengobrol. Fauzia juga menghentikan latihan fisiknya kemudian ikut mengobrol.
Hari mulai gelap dan perut terasa lapar; Odi, Ansen, Yusri, Fauzia, Monang, Rifqi, dan Adam berjalan bersama-sama untuk mencari makan malam. Mulanya, kami berhenti di warung muslim. Di tempat tersebut, kami yang beragama Islam memesan makan malam dan melahapnya dengan semangat. Kemudian, kami melanjutkan pencarian makan malam masih di sekitar pasar. Kami pun berhenti pada warung tenda yang menyediakan soto babi. Ya, Odi, Ansen, dan Monang tentu tidak akan melewatkan kesempatan ini. Bali merupakan tempat yang tidak banyak penduduk muslimnya, sehingga masakan babi banyak tersedia pada setiap tempat di pulau ini. Kami bertiga melahap soto babi dengan lebih bersemangat lagi. Sambil menunggu, Yusri membeli obat masuk angin di minimarket yang tak jauh dari warung.
Usai makan malam, kami kembali ke sekretariat Mapala BG untuk melaksanakan evaluasi dan briefing. Selanjutnya, kami melanjutkan kegiatan bebas dengan mengobrol santai dan beristirahat.
Sabtu, 22 Juli 2017
Hari itu berjalan tak jauh berbeda dengan hari sebelumnya. Kami bangun dan mendapati pemandangan kampus yang penuh dengan siswa SD sampai SMA, mahasiswa, orang dewasa yang bekerja, serta motor-motor yang diparkir berjubelan. Usai sarapan nasi soto di warung yang berada pada jalan yang sama dengan kampus Mahasaraswati, kami melanjutkan kegiatan survei. Namun, hari itu, kami bukan melakukan survei untuk mencari informasi percetakan, melainkan tempat sewa motor. Sebab, kami akan menyewa motor sebagai moda transportasi pulang-pergi dari Denpasar ke Kedampal, sampai kembali ke Denpasar lagi. Yang berangkat survei adalah Odi dan Yusri. Sementara, yang lain tetap stand by di sekretariat Mapala BG.
Mengingat salah satu logistik kami rusak yaitu kompor Ansen, kami pun meminjam satu kompor lapangan dari Angga. Rupanya, pengisian ulang tabung gas portable tidak umum di Bali sehingga mapala setempat pada umumnya menggunakan kompor kaleng berbahan bakar spirtus. Maka, Angga meminjamkan sebuah nesting berisi kompor kaleng sebagai alat masak pendakian selanjutnya.
Sore itu, Fauzia kembali melakukan latihan fisik dalam bentuk naik-turun tangga sebanyak 30 kali sambil membawa carrier. Kegiatan dilanjutkan dengan makan malam, kemudian evaluasi dan briefing. Saat itu, sekretariat Mapala BG ramai bukan hanya karena ada tamu dari SATU BUMI, melainkan juga mapala-mapala lain. Mapala lain tersebut diantaranya adalah mapala dari Lampung, Kalimantan, serta kampus tetangga di Yogyakarta yaitu Madawirna (UNY). Sebab, Mapala BG baru melaksanakan lomba susur pantai se-Indonesia. Oleh sebab itulah, masih banyak peserta lomba yang belum kembali ke daerah asalnya. Karena ramai, malam itu kami memasak dan makan bersama di depan sekretariat Mapala BG. Usai makan, gitar dimainkan dan lagu mulai dinyanyikan satu-persatu. Kami bernyanyi bersama dan saling bercanda. Satu-persatu pula, kami lelah dan masuk ke dalam ruang sekretariat untuk beristirahat karena besoknya akan berangkat ke Kedampal.
Minggu, 23 Juli 2017
Pada pukul 06.45 WITA, semua orang sudah bangun termasuk Yusri, Fauzia, Ansen, Rifqi, Monang, dan Odi, terkecuali Angga yang masih terlelap dalam tidurnya. Kami yang sudah bangun, bersiap-siap untuk melakukan packing barang-barang yang masih ada di luar carrier. Sementara itu, Odi, Rifqi, dan Ansen memanaskan motor. Di tengah persiapan, Angga bangun kemudian mempersiapkan barang yang diperlukannya. Pada hari ini, Angga bersama salah seorang adik tingkatnya hanya akan mengantar peserta SWADAYA menuju basecamp Kedampal. Kami tidak ikut menemani pendakian karena Angga memiliki kegiatan di kampung halamnnya, Tabanan, yaitu upacara Ngaben untuk kakeknya.
Setelah semuanya siap, kami berangkat tepat pukul 08.10 WITA. Total ada 4 motor dalam 1 rombongan tersebut. Sebelum menuju Kedampal, kami mampir ke rumah Angga sebentar. Sembari menunggu, Ibu Angga datang menghampiri membawakan kopi hitam, teh botol dingin, serta beberapa roti untuk mengganjal perut di pagi hari. Hanya di Bali, tepatnya di rumah Angga ada 2 ekor babi setinggi hampir sama dengan kami. Bahkan bila ditimbang, maka berat babi tersebut akan melebihi daripada berat kami. Selesai mandi dan bersiap, kami berpamitan pada orang tua Angga untuk melanjutkan perjalanan kami.
Waktu menunjukan pukul 09.30 WITA, jalur lingkar utara Bali kami telusuri. Pegunungan dan pantai menjadi pemandangan dalam perjalanan. Satu jam berlalu, rombongan tersebut berhenti di rumah makan yang menyediakan sate taican. Kami semua mengisi perut dengan lahap, kecuali Angga. Ia tidak ikut makan bersama kami. Kami makan dengan lauk macam-macam olahan ikan mulai dari sate lilit hingga bakso ikan dengan kuah sup yang sedap, tak lupa ditemani plencing yang lumayan pedas. Seporsi dengan harga Rp30.000,00 merupakan harga yang wajar mengingat masakan tersebut memang benar-benar enak. Perut kenyang, perjalanan dilanjutkan kembali. Kali ini kami mulai melewati jalanan berkelok dengan pemandangan yang tak kalah indahnya. Tanjakan serta turunan kami lewati. Sebelum menuju Kedampal, kami menuju ke Kubu untuk bertemu dengan salah satu Sispala SMA 1 Kubu bernama Rama. Ia adalah orang yang akan menunjukan jalan kepada kami menuju start pendakian jalur Kedampal. Kami sampai di desa Dukuh, indekos Rama, pada pukul 12.20 WITA. Sesampainya di sana, kami menunggu kurang lebih satu jam. Daerah tersebut dekat dengan pantai, maka tak heran apabila angin sering berhembus dan kering. Banyak kerikil serta pasir, serta penambangan pasir di pinggir pantai. Kami menunggu di bawah pohon rimbun dengan tempat duduk dibawahnya serta dekat dengan warung. Karena bosan, Odi dan Yusri memutuskan untuk berjalan menuju tempat penambangan pasir yang dekat sekali dengan pantai dan hanya berjarak 500 meter. Sementara yang lain, masih asik bercengkrama ditemani minuman dingin yang dibeli dari warung. Kemudian Rama datang, kami berkenalan dan diantar menuju indekos Rama untuk melepas penat.
Pada sore hari, istirahat dirasa sudah cukup dan tidak ada kegiatan. Pukul 17.00 WITA, Rama mengajak kami untuk jalan-jalan. Pertama, kami mengendarai motor menuju rumah Rama yang terletak di Desa Kubu, jarak rumah dengan indekosnya ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit. Kami disuguhi singkong yang direbus dengan gula putih. Dengan lahap kami memakannya. Rama juga mengajak kami mengunjungi tempat pembuatan arak. Mulai dari memetik buah lontar hingga proses penyulingan. Kami juga sempat mencicipi air buah lontar dengan kadar alkohol yang tidak terlalu tinggi. Ibu pemilik tempat pembuatan arak tersebut berbaik hati mengupas buah lontar untuk kami makan. Sampai-sampai kami kenyang karena terlalu banyak makan buah lontar. Ibu juga berbaik hati memberi kami sebagian buah lontar hasil memetik tadi. Setelah puas, kami berpamitan kemudian segera kembali ke indekos Rama untuk mempersiapkan pendakian esok hari. Dan pada malam harinya, pukul 20.20 WITA setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh serta kegiatan yang menarik. Kami mengisi perut dengan nasi berlauk pepes ikan demi menjaga stamina untuk pendakian esok hari. Sebagian perlengkapan pendakian sudah dipersiapkan dan kami pun beristirahat untuk pendakian pada hari besok. Kegiatan pada hari ini ditutup dengan evaluasi dan briefing untuk kegiatan esok.
Senin, 24 Juli 2017
Pagi hari merupakan bagian terbaik ketika di Desa Dukuh, karena Gunung Agung terlihat jelas serta pantulan cahaya matahari sangat indah. Monang bangun pada pagi hari untuk mengabadikan momen tersebut. Kemudian Fauzia dan Yusri bangun pada pukul 05.47 WITA lalu bersiap pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan untuk bekal pendakian dan di basecamp. Sepulang dari pasar, sebagian bahan dimasak untuk sarapan dan sisanya dipisah kemudian dikemas sesuai pengelompokannya. Menu sarapan pada hari tersebut adalah tumis sawi serta omelet dipadu dengan nasi putih yang masih hangat yang dimasak oleh Fauzia dan Rifqi, dibantu oleh Rama yang piawai dalam hal memasak karena merupakan siswa SMK jurusan perhotelan. Masakan sudah matang kemudian semua berkumpul mengelilingi makanan yang digelar berjajar panjang. Waktu menunjukan pukul 8.45 WITA dan makanan mulai dilahap sampai habis. Sarapan sudah beres, dilanjutkan packing logistik yang dibutuhkan.
Pendakian kedua ini hanya memberangkatkan 3 orang, yaitu Odi, Ansen, dan Monang. Fauzia dan Yusri berhalangan naik karena sedang dalam masa menstruasi. Untuk gunung yang masih disakralkan oleh masyarakat sekitarnya seperti Gunung Agung, hal tersebut merupakan pantangan bagi orang yang akan mendaki gunung tersebut. Rifqi bertugas menemani kedua orang yang tetap tinggal dibawah dan menjadi dorlog (dorong logistik) sehingga ikut naik kemudian turun pada hari kedua pendakian. Logistik yang dibawa Rifqi berupa konsumsi untuk malam hari dan pagi hari esoknya.
Menjelang siang pukul 10.45 WITA, kami mulai memasak untuk makan siang. Kami memasak menu yang sudah dijadwal oleh panitia bagian konsumsi. Sementara yang mendaki, melakukan packing sesuai pembagian logistik. Sekitar 2 jam, kami memasak dan makanan baru siap. Selesai makan dan packing, kami kemudian bersiap untuk menuju Kedampal. Tidak semua barang dibawa ke basecamp, beberapa ditinggal di indekos Rama karena dirasa tidak dibutuhkan ketika berada di basecamp. Pukul 13.20 WITA peserta SWADAYA meninggalkan Desa Dukuh. Pantai dan bukit dengan pohon yang berwarna jingga karena sudah kering merupakan pemandangan ketika menuju Kedampal. Jalanan menanjak juga merupakan jalur yang dilalui. Kondisi di desa tersebut yaitu rumah penduduk yang saling berjauhan. Sempat motor Rifqi mengalami pecah ban. Karena hal tersebut maka, Yusri pindah ke motor Rama dengan tujuan mengurangi beban motor yang dipakai oleh Rifqi. Basecamp Kedampal berada paling atas di desa tersebut. Di dekat basecamp tersebut terdapat Embung Datah II.
Rombongan tersebut sampai di tempat tujuan pada pukul 14.30 WITA. Basecamp yang menjadi tempat untuk menginap Yusri dan Fauzia merupakan kantor untuk penjaga Embung sekaligus menjadi tempat tinggal sementara. Ketika sampai, kami menunggu penjaga Embung serta Klihan Banjar Kedampal, Pak Wayan Sukadi untuk pemberitahuan serta perizinan. Bapak penjaga Embung kemudian datang dan Rama memperkenalkan rombongan tersebut. Setelah mengisi buku tamu, kemudian kami segera bersiap-siapa karena hari masih cerah, matahari belum tenggelam di peraduan. Selain itu agar kami sampai pada Camp 1 sebelum hari semakin gelap. Perjalanan dimulai pada pukul 17.00 WITA, diawali dengan upacara serta meminta izin dengan berdoa di pura belakang basecamp. Upacara tersebut dipimpin oleh Rama, meski dengan keyakinan kami masing-masing. Tugas untuk kami yang berada di basecamp adalah menyelesaikan infografis serta selalu stand by handy talky. Kami harus memantau para pendaki dengan mencatat laporan pendakian yang diberikan pada waktu-waktu tertentu. Selain itu, kami juga menjadi jalur informasi dengan warga sekitar dan pusat informasi di Sekretariat SATU BUMI.
Perjalanan Ansen, Odi, Monang, dan Rifqi dimulai dengan menyusuri jalan setapak di sekitar lahan kosong bekas warga yang cukup luas. Selang beberapa waktu setelah para pendaki yang terdiri dari Ansen, Odi, Monang, dan Rifqi mulai berjalan, Pak Wayan kemudian datang. Dengan pakaian sehabis menghadiri pernikahan, sambutan hangat kami terima. Fauzia kemudian menjelaskan kepada Pak Wayan tentang kegiatan pendakian serta meminta kartu identitas semua peserta SWADAYA. Beliau berdalih meminta kartu identitas tersebut agar apabila terjadi sesuatu, ada yang bias dipertanggungjawabkan. Selain itu Pak Klihan juga meminta surat pemberitahuan, namun surat tersebut belum dimasukan ke Polsek. Surat pemberitahuan ke Polsek Abang sudah dipersiapkan sejak di Yogyakarta, sebelum keberangkatan peserta SWADAYA XI. Namun dari Rama sendiri mengatakan bahwa tidak perlu memasukan surat tersebut. Maka terjadi salah paham diantara kami. Pak Klihan berpamitan dan berkata bahwa besok beliau akan datang kembali.
Basecamp yang ditempati berdampingan dengan rumah penjaga embung. Pada rumah tersebut terdapat warung kecil yang buka hanya pada saat tertentu. Ketika ibu pemilik warung sedang pergi ke ladang atau ketika malam angin berhembus kencang dan tentunya ketika hujan turun. Posisi warung tersebut terletak paling atas, sehingga pembeli warung tersebut lebih sering merupakan pengunjung embung. Biasanya kami hanya berjalan-jalan mengelilingi embung atau sekedar mengisi waktu luang. Setelah kepergian Pak Klihan, Rama kemudian mentraktir mie instan rebus beserta segelas energen hangat. Ibu tersebut lebih sering berbicara kepada Rama dalam Bahasa Bali. Karena Fauzia dan Yusri tidak paham, maka hanya mengangguk dan menjawab sebisanya saja.
Waktu menunjukkan pukul 18.30 WITA dan tim yang mendaki kehilangan jalur dan belum tiba di tujuan, yaitu tempat camp pertama. Akhirnya, kami memutuskan untuk mendirikan tempat camp di lokasi kami saat itu, yaitu pada koordinat 08° 21′ 20.5″ LU, 115° 33′ 16.4″ BT. Proses pembuatan kemah memakan waktu cukup lama dikarenakan kondisi tanah yang tidak rata. Fauzia mengabari melalui handy talky bahwa malam itu kami harus memasukan surat pemberitahuan ke Polsek Abang malam itu juga. Ansen menjawab, dan sempat melarang Fauzia untuk pergi karena mengira hanya ditemani Yusri saja. Lalu Fauzia menjelaskan bahwa Rama akan mengantar kami berdua. Karena dirasa aman, berangkatlah kami bertiga dengan mengendarai motor. Sementara itu, tim yang berada di atas menghabiskan sisa malam dengan memasak dan makan, lalu dilanjutkan dengan evaluasi dan briefing. Setelah semua telah usai, barulah kami beristirahat.
Di basecamp, Yusri, Fauzia, dan Rama melaju menuju Polsek Abang. Perjalanan malam itu cukup hangat, karena cuaca dibawah tidak sedingin saat berada di basecamp. Jalanan tidak ramai namun minim pencahayaan sehingga sulit untuk melihat. Selama 30 menit perjalanan, kami sampai di Polsek Abang. Kami disambut ramah oleh 3 polisi yang berjaga. Fauzia lalu menjelaskan maksud kedatangan kami, dengan menjelaskan rincian kegiatan serta peserta yang melakukan pendakian, darimana kami berasal. Rama pun ikut membantu menjelaskan. Fauzia menyerahkan surat pemberitahuan dan salah satu dari polisi menerimanya. Proses tersebut tidak memakan waktu yang lama. Karena surat sudah tersampaikan, maka kami pamit undur diri.
Jalanan yang gelap kami lewati lagi untuk menuju ke basecamp. Selain gelap, jalan tersebut juga berkelok. Rama mengajak Fauzia dan Yusri mampir ke warung bakso dan mie ayam lalu membungkus 3 porsi mie ayam. Kemudian kami bertiga melanjutkan perjalanan kembali menuju basecamp. Angin kencang dan dingin menyambut kedatangan kami bertiga. Setelah turun dari motor, dengan segera kami masuk ke basecamp. Dibuka ketiga bungkusan mie tersebut dan dimakan dengan lahapnya untuk mengisi energi berperang melawan dinginnya malam. Malam itu, tidak ada listrik yang mengalir. Dan kami ditemani oleh suara gemuruh angin. Karena tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan, maka kami memutuskan untuk pergi tidur.
Selasa, 25 Juli 2017
Cuaca pada pagi hari itu mendung. Mentari tidak menampakan sinarnya. Langkah kaki, bunyi engsel pintu ketika terbuka dan tertutup, serta bunyi suara keran membangunkan kami setiap pagi. Kamar mandi bergantian digunakan. Fauzia bangun yang pertama pada pukul 06.30 WITA disusul Yusri. Kami sepakat selama stand by di basecamp, kami memiliki tugasnya masing-masing. Fauzia berkutat dengan desain infografis sedangkan Yusri mengurusi dalam hal masakan. Kami sudah mulai bekerja dengan tugasnya masing-masing. Rama masih menutup mata menyelesaikan mimpinya. Tidak lupa kami stand by handy talky pada pukul 07.00 WITA hingga pukul 09.00 WITA. Kompor yang ditinggal merupakan kompor yang terbuat dari botol kaleng bekas berbahan bakar spirtus. Butuh waktu lama untuk mematangkan masakan. Karena kondisi tersebut, maka kami memutuskan sarapan dengan masak mie instan rebus. Sebagai selingan, singkong direbus bersama gula. Handy talky berbunyi, Ansen mengatakan bahwa kami sudah mulai mendaki lagi dan Rifqi berpisah dengan rombongan untuk turun menuju basecamp.
Ya, pada hari kedua pendakian tersebut, tim yang berada di atas telah bangun dan menyiapkan sarapan sejak pukul 06.30 WITA. Usai sarapan, kami bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan, tetapi kali ini hanya tiga orang, antara lain Odi, Ansen, dan Monang. Rifqi akan kembali ke basecamp untuk mendampingi Fauzia dan Yusri. Perjalanan dimulai pada pukul 09.30 WITA dengan menelusuri hutan lebat. Tujuan utamanya jelas: kembali ke jalur pendakian, yang jaraknya cukup berjauhan pada peta.
Pagi itu, Fauzia, Yusri, dan Rama kedatangan seorang petugas polisi bernama Pak Putu dengan jabatan Bhabinkamtibmas Kedampal, semacam petugas keamanan pada daerah tersebut. Maksud dari kedatangan Pak Putu adalah untuk meneruskan laporan surat perizinan yang kami masukan semalam. Pak Putu menanyakan kenapa kami baru menyerahkan surat izin lewat tanggal dari kegiatan. Rama kemudian membantu Fauzia menjelaskan kepada Pak Putu kemudian beliau meminta untuk dipanggilakn Pak Kliyan. Beberapa waktu kemudian Pak Klihan datang bersama putranya yang masih balita. Suasana sempat tegang karena antara Pak Klihan dan Pak Putu memiliki argumen kami masing-masing. Pak Putu menanyakan kenapa Pak Klihan membawa kartu identitas kami, kemudian dijelaskan untuk sebagai jaminan dan agar dapat difotokopi oleh beliau. Pada waktu pertama kedatangan Pak Klihan hari sudah mulai gelap, serta disekitar embung tidak ada tempat fotokopi. Setelah semua jelas, Pak Putu kemudian pamit. Beliau sempat memfoto identitas kami.
Selang satu setengah jam tepat pada pukul 10.30 WITA Rifqi sampai pada Embung Datah II. Sebelumnya, Rama pamit untuk turun ke bawah karena ada kerja. Tidak banyak hal yang dapat dilakukan. Kami melakukan apa yang menjadi tugasnya. Fauzia harus segera menyelesaikan infografis. Pukul 11.00 WITA Yusri kembali memasak. Kendala kami adalah membutuhkan waktu yang lama untuk mematangkan masakan. Maka dari itu sesekali Yusri membaca buku yang dibawa. Untuk memecah keheningan, kami sesekali ngobrol atau sekedar menanyakan tentang infografis. Kami menghabiskan waktu dengan melakukan kegiatan yang sama sepanjang hari. Meski begitu kami tidak boleh meninggalkan basecamp karena harus tetap memantau keadaan diatas.
Di atas, ketiga pendaki dari tim SWADAYA XI tengah berupaya mencari jalan. Bermodalkan kompas, GPS, perlatan navigasi lain, dan tidak lupa parang untuk membuka jalan, kami akhirnya menemukan jalur kembali pada pukul 15.05 WITA. Selang beberapa detik, kami pun menemukan pelinggih di pinggir jalan. Tak lupa kami berdoa disana memohon berkat. Perjalanan menuju titik kemah kedua masih cukup jauh dengan kondisi medan yang semakin menanjak dan pohon-pohon besar di sekitar jalur pendakian. Hingga gelap tiba, kami belum kunjung sampai di lokasi kemah kedua, dan malah keluar jalur karena kondisi jalur yang tidak jelas. Kami pun memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan dengan pertimbangan jarak yang sudah lumayan dekat dan tidak adanya lokasi yang dapat dijadikan tempat kemah di sepanjang perjalanan.
Pukul 20.30 kami mulai memutuskan untuk menghentikan perjalanan dan membuat tempat kemah seadanya. Di tempat pemberhentian, kondisinya tidak memungkinkannya untuk mendirikan tenda, sehingga kami pun hanya membuat kemah berupa bivak semi alam, dengan memanfaatkan flysheet yang telah dibawa. Sembari Ansen dan Odi membuat bivak, Monang langsung mulai memasak karena semuanya sudah sangat lapar. Akhirnya kami pun makan pada pukul 23.15 WITA. Setelah makan, ketiga pendaki tersebut langsung beristirahat karena kondisi cuaca yang berangin cukup kencang. Harapannya, besok pagi kondisi fisik kami tetap terjaga untuk melanjutkan perjalanan.
Rabu, 26 Juli 2017
Hawa dingin serta rutinitas pagi membangunkan kami. Angin masih berhembus kencang dan langit tetap tertutupi oleh awan meski sekali-kali angin menyapu kami dari langit. Pagi itu Fauzia, Yusri, Rifqi, dan Rama mengganjal perut kami dengan memakan roti ditemani minuman hangat. Rama semalam datang disaat kami sudah terlelap. Pengerjaan infografis hampir selesai. Sembari menunggu kabar masuk melalui handy talky, Fauzia menyelesaikan infografis. Hari itu juga infografis akan dicetak agar besok dapat diserahkan ke Besakih. Pukul 09.20 WITA Fauzia dan Rama pergi turun ke kota untuk mencetak infografis dalam bentuk banner. Rifqi juga ikut turun untuk menambal ban yang bocor serta membeli beberapa barang yang dibutuhkan, sedangkan Yusri tetap berada di basecamp. Di atas, Odi, Ansen, dan Monang bangun kemudian langsung memasak sarapan sembari melakukan evaluasi dan briefing karena belum dilakukan pada malam sebelumnya. Perjalanan kami mulai pada pukul 11.15 WITA, dengan kondisi cuaca mendung dan berangin kencang, sama seperti di bawah. Dengan mengikuti jalur yang ternyata berada sekitar 50 meter di sisi selatan lokasi kemah, kami pun sampai di puncak Kedampal pada pukul 12.30 WITA. Puncak Kedampal terletak pada koordinat 08° 20′ 32.2″ LU, 115° 30′ 41.9″ BT dengan ketinggian 2947 meter di atas permukaan laut. Kondisi di puncak Kedampal yang berkabut tebal dengan angin yang kencang membuat kami tidak berlama-lama di sana. Kami pun turun pada pukul 13.05 WITA, dengan tujuan langsung ke titik awal pendakian, Embung Datah II.
Rifqi segera kembali ke basecamp usai menambal ban dalam waktu yang tak lama. Setelahnya, Rifqi dan Yusri menunggu kabar lanjutan dari Fauzia. Pesan terakhir yang diterima dari Fauzia adalah kami mencetak banner di Kota Karangasem dan butuh waktu sekitar 20 menit untuk proses pengerjaannya. Jarak yang ditempuh dari Kedampal ke Kota Karangasem adalah sekitar satu jam. Perut sudah mulai lapar, kami sepakat untuk memasak mie karena lebih praktis. Kami juga kadang mengisi waktu luang dengan membaca buku. Pesan dari Fauzia membunyikan ponsel Yusri, isinya adalah bahwa Rama tidak dapat mengantar Fauzia hingga ke basecamp karena harus segera pergi untuk bekerja dan meminta Rifqi untuk menjemput di titik yang kami sepakati. Ketika kami berdua sudah hampir sampai ke titik tersebut, Fauzia akan mengabari kami melalui pesan singkat. Namun sebelum kami sampai, Rama mengajak Fauzia mampir ke warung bakso dan membungkus satu porsi untuk Yusri dan Rifqi. Pukul 13.00 WITA Rifqi bergegas menuju ke dekat jembatan untuk menjemput Fauzia. Ketika sampai di basecamp, lemak pada kuah bakso telah menjadi gumpalan. Banner yang sudah dicetak kemudian dibuka untuk dilihat isinya. Bau dari tinta masih sangat terasa dan beberapa bagian masih lengket ketika dibuka lipatannya.
Hari ini merupakan hari ketiga pendakian dan waktunya untuk turun dari Gunung Agung. Angin masih berhembus kencang, awan gelap menutupi langit pada sebelah timur. Puncak Gunung Agung juga diselimuti awan gelap. Matahari berada di sebelah barat dan segera tenggelam. Dari handy talky, Ansen mengabarkan bahwa para pendaki sedang dalam perjalanan turun. Pukul 17.30 WITA, Fauzia bersama Rifqi pergi membeli gorengan sebagai penyambutan atas kedatangan kami yang mendaki. Kami kembali dengan membawa teh botol, gorengan berupa pisang, tempe, dan tahu, dan makan malam untuk kami semua.
Hari semakin gelap. Awan mendung menyelimuti seluruh langit, namun yang mendaki tak kunjung datang. Meski demikian, perjalanan turun tidak memakan waktu seperti pada saat naik, karena kami hanya tinggal mengikuti jalur yang ada. Pada perjalanan turun, kami disuguhi dengan pemandangan indah sisi timur pulau Bali—dimana laut dapat langsung terlihat di sepanjang perjalanan turun. Tiba-tiba handy talky berbunyi, Ansen berkata bawa kami sudah sampai embung. Saat itu, waktu menunjukkan pukul 19.20 WITA. Dari kejauhan terlihat Odi berlari menuju basecamp dan segera masuk ke kamar mandi. Ia sudah menahan untuk membuang hajat selama perjalanan turun namun karena kami harus tetap berjalan dan hari sudah gelap. Ia sebenarnya sudah meminta izin kepada korlap untuk buang air, namun dilarang dan diminta untuk ditahan demi keamanan kami semua. Disusul Ansen dan Monang, kami kembali dengan muka kusam serta badan yang sudah lelah menahan beban carrier. Kondisi kaki monang agak pincang karena terjatuh saat perjalanan. Ia lalu meminta ember untuk merendam kakinya. Namun kami kembali dengan membawa cerita selama perjalanan menaiki Gunung Agung. Malam itu kami makan bersama-sama dengan lauk ikan serta sayur. Kegiatan bebas diisi dengan membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Tak lupa, sebelumnya kami juga telah melakukan evaluasi dan briefing harian.
Kamis, 27 Juli 2017
Suara pintu terbuka membangunkan salah satu dari kami. Fauzia bangun kemudian memasak nasi. Pagi itu kami masih beristirahat di basecamp. Sisa logistik dari pendakian masih dapat digunakan untuk memasak beberapa makanan. Pukul 06.00 WITA kompor dinyalakan dalam mode api kecil. Satu persatu orang bangun. Kemudian terdengar orang mengetuk pintu, rupanya Pak Klihan datang. Sama seperti kemarin, ia datang bersama dengan putranya mengenakan jaket ungu. Putra Pak Klihan berumur sekitar 5 tahun, pendiam, serta memiliki pipi yang bulat. Pak Klihan menanyakan keadaan para pendaki dan bagaimana kegiatan yang dijalankan kemarin. Sebagai dokumentasi, kami mengajak Pak Klihan berfoto dengan banner. Pertemuan hari itu merupakan yang terakhir. Ucapan maaf dan terimakasih terdengar saat berpamitan dengan beliau. Pak Klihan menolak ajakan makan bersama kami karena ada urusan. Dengan sepeda motornya beliau melaju menuruni jalan berkelok. Kami kemudian sarapan dengan nasi hangat, tumis kacang panjang, serta tempe goreng. Setelah makan, peralatan yang digunakan kemudian dicuci. Sedangkan yang lain bersiap-siap mengepak barang karena kami akan meninggalkan basecamp hari itu juga. Semua barang sudah masuk kedalam carrier. Karpet biru dilipat dan debu yang berada dibawahnya disapu. Dicek lagi ruangan tersebut agar tidak ada barang yang tertinggal. Waktu itu hanya istri dari penjaga embung yang berada di rumah, sehingga kami berpamitan dan menyerahkan beberapa barang serta uang kepada beliau. Selesai berpamitan, peserta SWADAYA kembali menuju kos Rama. Butuh waktu sekitar 35 menit untuk menuju lokasi tersebut. Kami meninggalkan basecamp pada pukul 10.30 WITA.
Ansen dan Monang sempat terpisah dari rombongan. Ternyata motor yang kami kendarai sempat mengalami rem blong dan sempat mogok. Ketika kami akan memberitahu yang didepannya, ternyata tidak didengar. Hal tersebut baru disadari setelahnya. Fauzia dan Odi lalu berhenti diikuti oleh Yusri dan Rifqi. Setelah semua beres, perjalanan dilanjutkan kembali. Kos Rama sedang tidak ada orang ketika kami sudah sampai. Namun Rama berpesan kunci pintu kosnya terletak di sela-sela ventilasi yang terletak diatas pintu. Hari itu merupakan saat bagi kami untuk berkegiatan bebas. Odi, Monang, dan Yusri bersantai disamping warung pepes yang berada dipinggir jalan. Warung tersebut juga terletak di gang untuk menuju kos yang kami tumpangi. Minuman dingin dan beberapa bungkus snack kecil menemani kami mengobrol. Fauzia lalu datang menyusul kami bertiga. Sebelum ikut duduk bergabung, ia membeli beberapa bungkus snack dan minuman dingin.
Yusri dan Fauzia pergi menuju kos. Kami berdua bersiap untuk memasak makan siang. Pada saat di basecamp, Rama sempat memetik labu siam dari kebun di sekitar embung. Labu tersebut baru sempat diolah ketika sudah berada di bawah. Lauk untuk makan siang yaitu omelet mie. Kering tempe yang dibawa juga akan menemani makan siang kami. Setelah semua siap, kertas minyak disusun berjajar lalu dituang nasi. Sayur yang sudah matang diletakan diatas nasi, disusul mie omelet diletakan disamping dan merata. Semua dipanggil untuk bersiap makan siang. Ketika semua sudah berkumpul dan ditempatnya masing-masing, kami mulai makan dengan lahap. Setelah selesai, peralatan yang dipakai dicuci lalu dibereskan. Dalam penggunaan air, kami harus berhemat. Karena tidak setiap hari kran air menyala. Daerah Desa Dukuh merupakan daerah kering dekat pantai dan sulit untuk mendapatkan air. Siang hari kami disibukan dengan kegiatan masing-masing. seperti Yusri memasukkan data koordinat kedampal ke dalam laptop. Fauzia mencatat dan meneliti pengeluaran serta konsumsi selama kegiatan SWADAYA. Odi dan Monang terlelap tidur. Ansen kemudian menyibukkan diri dengan membuat layang-layang dari kayu serta kantong plastik hitam. Untuk memainkan layangan dibutuhkan tempat yang luas dan memiliki angin yang cukup kencang. Ansen mengajak kami ke pantai. Siang itu Rama sudah kembali ke kos. Dengan arahan dari Rama, peserta SWADAYA berangkat jalan-jalan ke pantai pada pukul 15.00 WITA.
Pada saat perjalanan, Yusri dan Odi terjatuh dari motor. Beruntungnya, tidak ada luka serius dalam peristiwa tersebut. Setelah dirasa aman, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kami tiba di pantai sekitar Tulamben. Fauzia, Yusri, dan Odi hanya duduk dipinggir menikmati udara sejuk pantai. Sementara, Monang dan Rifqi melepas kaos kami kemudian menceburkan diri. Lalu Ansen sibuk menaikan layangannya ke udara dan Rama kemudian menyusul berenang di pantai. Pantai yang kami datangi memiliki pasir berwarna hitam, serta pada dasar pantai berupa batu kali. Puas kami menghabiskan waktu di pantai, lanjut pindah ke pantai yang lain. Kali ini, pantai tak bernama yang kami datangi. Berada di pinggir jalan, agak menjorok kedalam. Untuk menuju pantai, harus menuruni tangga. Sama seperti pantai sebelumnya, pasir pantai berwarna hitam dan batu kali berukuran macam-macam. Kelebihan dari pantai ini adalah terdapat air tawar yang mengalir menuju pantai. Dengan dibatasi batu kali sehingga membentuk seperti kolam dengan air tawar didalamnya. Kami membilas badan dalam kolam tersebut agar badan tidak lengket karena terkena air laut. Bali memang identik dengan pura, tak heran ketika saat mengunjunginya akan dengan mudah menemukan Pura, termasuk di pantai. Pura tersebut terletak diatas pantai, dan terdapat orang yang sedang bersembahyang yaitu seorang wanita mengenakan kebaya merah dengan membawa beberapa canang.
Sebelum hari berangsur gelap, peserta SWADAYA segera kembali ke kos Rama. Pada saat perjalanan pulang, Odi dan Yusri mampir membeli gorengan. Penjual tersebut bukan asli orang Bali, tetapi sudah tinggal di Bali selama 30 tahun. Penjual tersebut merupakan seorang lelaki berumur sekitar 50 tahun dan berasal dari Kediri. Yusri menyodorkan uang Rp 20.000,00, lalu uang itu diterima oleh bapak penjual gorengan kemudian diserahkan plastik berisi gorengan. Kami mengucapkan terima kasih lalu pergi meninggalkan warung tenda tersebut. Sesampainya di kos, gorengan tersebut kemudian dicemil bersama-sama dan pukul 17.30 WITA kami mulai mengolah makan malam. Tidak semua logistik diberikan, sebagian disimpan untuk bekal selama menginap di Desa Dukuh dan bahan pokok makanan akan habis ketika sudah berada di Denpasar. Sisa-sisa seperti kering tempe, saos, dan kecap akan dibawa pulang kembali ke Yogyakarta. Makanan sudah siap, digelar seperti biasa kemudian diawali dengan doa dan masing-masing mulai memakannya. Peralatan kemudian dibereskan dan dicuci. Di Desa Dukuh, air sulit didapatkan dan hanya menyala pada pagi dan malam sekitar pukul 9 malam. Maka dari itu selepas bermain dari pantai pada sore hari, harus menunggu hingga malam untuk air menyala agar dapat mandi. Pada malam itu, peserta SWADAYA berfoto bersama Rama, sebagai dokumentasi kegiatan dan kenang-kenangan ketika berada ditempatnya. Setelah semua kegiatan pada hari itu selesai dilaksanakan, ditutup dengan evaluasi. Briefing juga dilaksanakan untuk kegiatan besok. Peserta SWADAYA berencana, sebelum kembali ke Denpasar, kami akan mampir ke Besakih untuk menyerahkan banner infografis sebagai hasil dari kegiatan sosmas yang telah dilakukan. Setelah evaluasi dan briefing selesai, kami bergegas untuk tidur, karena harus bangun pagi untuk memulai kegiatan pada esok hari.
Jumat, 28 Juli 2017
Hari itu merupakan pagi terakhir kami bangun di Desa Dukuh. Waktu menunjukkan pukul 06.00 WITA dengan posisi semua peserta SWADAYA telah bangun. Kemudian, kami bergegas mengepak barang untuk dimasukan ke dalam carrier. Semua siap untuk berangkat pada pukul 07.20 WITA. Dalam perjalanan, Rifqi meminta untuk berhenti ke tempat pembuatan arak. Ia membeli arak sebagai oleh-oleh sepulang dari Bali. Tempat pembuatan arak berada di pinggir jalan yang dilalui ketika menuju atau dari Kedampal. Dari pinggir jalan, tempat tersebut tidak tampak seperti tempat pembuatan arak, melainkan seperti rumah pada umumnya dengan pagar berada di depannya serta terdapat anjing penjaga. Rifqi kembali dengan membawa 2 botol ukuran 1,5 L serta 2 botol ukuran 600 mL. Karangasem memang terkenal sebagai tempat produksi arak paling enak di Bali.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Sekitar setelah satu jam perjalanan, kami berhenti di pos pengisian bahan bakar untuk mengisi bahan bakar serta membeli kudapan di toko yang terletak tepat di samping pom bensin. Sepanjang perjalanan kami menemui rombongan orang berjalan kaki, berpakaian adat Bali, pasangan pengantin berada paling depan lalu diikuti oleh orang yang memegang gamelan dan memainkannya. Jalan yang kami lalui menanjak dan berkelok, serta kadang kami menemui turunan. Hutan berada di pinggir jalan masih alami, dengan pohon yang tinggi dan besar. Bahkan ada suatu tempat dimana masih terdapat monyet-monyet berkeliaran sampai di pinggir jalan dan membuat orang rela untuk berhenti sejenak untuk memberi makan atau sekedar berfoto. Monyet-monyet tersebut tidak takut, bahkan menerima apa yang diberikan oleh pengendara yang lewat. Kami melewati tempat tersebut saat masih dalam perjalanan.
Tepat 2 jam perjalanan kami sampai di Kantor Perbekel Besakih. Sebelumnya Odi sudah menghubungi Pak Kel dan Bli Komang untuk mengabarkan bahwa kami sudah menyelesaikan infografis dan segera menyerahkan hasilnya. Bli Komang sudah menunggu di kantor, sedangkan Pak Kel tidak ada di lokasi karena sedang ada rapat. Oleh sebab itu, Sekretaris Desa mewakili Perbekel untuk menerima hasil dari infografis bersama Bli Komang. Selain menyerahkan, kami juga berpamitan karena akan segera menuju Denpasar dan pulang ke Yogyakarta. Kami mengakhiri pertemuan dengan berfoto bersama. Selang beberapa waktu kemudian Pak Kel datang lalu menyalami kami, selain itu beliau juga meminta maaf karena mendadak ada rapat sehingga tidak dapat menemui dari awal. Kemudian kami juga berfoto bersama Pak Kel dengan banner SWADAYA yang sudah disiapkan. Setelah semua urusan selesai, peserta SWADAYA pamit undur diri karena masih harus melanjutkan perjalanan ke Denpasar. Ketika masih berada di Besakih, kami mampir ke warung makan nasi yang berada di utara balai banjar Kedungdung, tempat kami menginap selama berada di Besakih. Nasi campur lauk ayam untuk Fauzia, lauk telur asin untuk Yusri, lauk terong untuk Rifqi, dan lauk daging babi untuk sisanya.
Selesai makan, perjalanan dilanjutkan kembali. Dengan berbekal Google Maps, kami menuju Universitas Mahasaraswati tempat sekretariat Bhuana Giri berada. Pukul 10.20 WITA kami melanjutkan perjalanan kembali. Ketika sudah berada di dekat UNMAS, Rifqi dan Yusri memutuskan untuk berhenti di masjid At-Taqwa. Motor yang dipakai oleh Rifqi kemudian dikendarai oleh Ansen. Letak masjid tersebut berada di pinggir jalan raya. Maka tak heran apabila ramai dikunjungi, terutama ketika salat jumat. Selepas melaksanakan salat jumat dan salat dzuhur, kami beristirahat sambal makan mie ayam yang berada dalam kompleks masjid. Perut sudah terisi, sekitar 650 meter jalan harus disusuri untuk menuju sekretariat Bhuana Giri. Suara bising kendaraan, serta terik matahari yang menyengat menemani langkah kami. Setibanya di lokasi, terlihat Fauzia sedang berbicara dengan Angga.
Panas yang menyengat membuat kami malas untuk beraktivitas. Semakin banyak bergerak maka akan membuat badan semakin panas. Kipas angin dalam ruangan sangat menyejukkan. Odi datang dari luar, menghampiri Yusri yang sedang merebahkan diri dan bermain. Ia meminta untuk ditemani mengembalikan motor segera. Yusri mengiyakan, kemudian kami berangkat dengan masing-masing mengendarai motor. Odi dan Yusri kembali dengan mengendarai motor berboncengan.
Sore hari diisi dengan kegiatan bebas. Namun, motor yang disewa harus sudah segera dikembalikan. Hari itu merupakan batas waktu pengembalian motor. Alhasil 2 motor baru sempat dikembalikan pada malam hari dan dikenai denda. Makan malam kali ini dibeli di sekitar Pasar Asoka. Pada malam hari, pasar tersebut ramai karena merupakan pasar malam. Banyak penjual baju-baju dalam pasar tersebut, mulai dari baju untuk anak kecil hingga dewasa dijual dalam pasar. Di luar pasar berjejer warung kaki lima yang didominasi oleh penjual soto. Nasi campur di angkringan menjadi pilihan kami untuk makan malam. Masing-masing menghabiskan 2 hingga 3 bungkus nasi. Seporsi nasi seharga tiga ribu rupiah. Pada bungkus nasi terdapat keterangan untuk membedakan mana nasi kuning atau nasi putih. Setelah kenyang, kami kembali ke sekretariat Bhuana Giri dengan berjalan kaki.
Angga membuat lincak dadakan di depan sekretariat kami, terdiri dari kursi kayu yang disusun mengelilingi meja berbentuk balok. Pada meja sudah tersajikan kacang Bali yang dibeli di pasar, serta gelas untuk menuang arak. Malam akan kami habiskan dengan bermain gitar dan meminum arak. Sementara, Fauzia dan Yusri akan bertahan duduk di lincak hingga kantuk menyerang. Pada malam kali ini evaluasi dan briefing yang terakhir kalinya dilakukan. Sebelum gelas berisi arak berputar, briefing segera dilakukan. Selepasnya kembali ke dalam kumpulan orang-orang yang duduk di lincak.
Sabtu, 29 Juli 2017
Hari itu ada beberapa kegiatan yang akan kami lakukan. Salah satunya adalah mengunjungi tempat kerja Adam. Yusri kemudian menghubungi serta membuat janji untuk bertemu. Sekitar siang hari kami akan sampai ke tempat kerja Adam di Bali Kuta Resort. Namun sebelum berangkat, kami memiliki makan pagi berupa nasi ayam yang dibeli di warung makan Glory, terletak di depan Universitas Dwijendra. Warung tersebut terletak di sebelah barat dan menjorok kedalam, bila tidak jeli maka tidak akan terlihat. Kami kemudian menuju halte KOTA yang berada di timur Gelora Ngurah Rai. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk menunggu kedatangan bus. Untuk menuju lokasi, turun di halte depan Hypermart Mal Bali Galeria. Butuh satu kali ganti bus Trans Sarbagita. Kemudian, kami berjalan kaki mengikuti arah peta yang sudah dibagikan oleh Adam melalui pesan singkat menuju hotel tempat Adam bekerja.
Hotel tersebut terletak di pinggir jalan yang lumayan sempit, hanya cukup untuk satu mobil berpapasan. Pesan kami telah sampai di depan hotel sudah terkirim. Sembari menunggu, mata melihat disekeliling melihat bangunan hotel. Adam lalu muncul, diarahkan kami pada kursi-kursi yang terletak di pinggir kolam renang. Kursi terbuat dari bahan kayu jati dan berjumlah 6. Suasana yang menyenangkan untuk berbincang ditambah iringan musik menambah irama. Seorang pramusaji datang membawa satu teko berisi es teh beserta 7 gelas. Kami berbincang sembari menghabiskan minuman tersebut. Kemudian datang lagi seorang pria, sesama pekerja hotel, rekan Adam membawa kantong plastik hitam yang berisi bungkusan nasi padang. Piring, sendok, serta garpu turut diantarkan pula. Kondisi perut sebenarnya belum butuh untuk diisi. Namun karena sudah dipersilakan, apa boleh buat. Dibukanya bungkusan diatas piring. Terlihat gunungan nasi beserta sayur dan lauk disekitarnya kemudian runtuh. Porsi nasi padang memang pada umumnya berjumlah lumayan banyak. Mau tidak mau makanan harus dihabiskan. Sambal hijau sempat membuat Odi kewalahan serta Ansen berkeringat. Pada akhirnya makanan dapat dihabiskan meski dengan susah payah. Beberapa batang rokok telah dinyalakan, itu menandakan bahwa kami sudah selesai untuk makan siang.
Sembari menunggu makanan turun, perbincangan dilanjutkan kembali. Angin semilir dan perut kenyang membuat rasa kantuk timbul. Adam mengajak kami menuju lantai paling atas pada bangunan hotel—sebuah rooftop. Rooftop terletak di lantai 5 dan untuk menuju kesana harus menggunakan tangga yang cukup membuat bulir-bulir keringat keluar. Kondisi pada rooftop tersebut tidak ada atap pelindungnya, terdapat tandon air yang dapat menampung hingga 32000 liter serta pipa-pipa yang melintang. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah genteng-genteng pada rumah, dan beberapa bangunan pencakar langit terlihat. Layang-layang tampak bertebangan menghiasi langit sore.
Selepas dari Bali Hotel Resort, kami menuju toko oleh-oleh yang berjarak sekitar 1 km, bernama Bali Jaya Mart. Toko tersebut menjual berbagai macam oleh-oleh khas Bali. Kebanyakan yang dibeli adalah pai susu. Proses transaksi diakhiri di meja kasir. Selesai berbelanja, kami harus segera kembali ke Bhuana Giri. Semalam, Angga menawarkan untuk pergi berkemah di pinggir danau. Segala macam kebutuhan serta transportasi sudah ada yang mengurusi. Kami hanya butuh untuk siap pada sore hari agar datang sebelum larut malam. Fauzia lalu memesan taksi online. Biaya yang dikeluarkan adalah Rp35.000,00. Pukul 16.00 WITA peserta SWADAYA XI sudah sampai ditujuan. Kami bergegas mengepak semua barang. Hari itu merupakan hari terakhir kami berada di tempat tersebut. Esok, selepas dari acara kami akan langsung menuju terminal untuk kembali ke Yogyakarta.
Sebuah mobil APV berwarna silver terparkir di depan kampus. Kami harus berjalan kaki untuk menuju kesana dengan carrier sudah berada di punggung masing-masing. Lokasi yang dituju adalah Danau Tamblingan. Untuk menuju lokasi, dibutuhkan waktu sekitar 2,5 jam. Sebelumnya kami mampir di salah satu rumah anggota senior BG bernama Doni untuk meletakan carrier. Danau Tamblingan dipilih karena lokasi tersebut belum ramai pengunjung dan masih terjaga kealamiannya. Jalan untuk menuju ke danau menanjak dan berkelok, sebab lokasinya terletak di lembah perbukitan daerah Buleleng, Bali. Di atas danau terdapat sejumlah desa, salah satunya adalah Desa Munduk. Kebetulan, Desa Munduk merupakan tempat senior kami, Fawaz, melakukan Ekspedisi Cengkeh. Maka, malam itu kami berencana untuk bertemu. Namun, mendadak Fawaz mengabarkan bahwa masih ada beberapa tulisan yang harus diselesaikan, sehingga malam itu kami batal bertemu.
Empat pasang tenda berdiri di tepi danau dan berjarak 50 meter dari pondokan. Orang orang ramai berkumpul dan bernyanyi ditemani hangatnya api unggun. Ikan-ikan yang sudah dibersihkan siap untuk dibakar. Jaring-jaring besi berbentuk persegi panjang sebagai tempat untuk membakar ikan maupun ayam diletakan diatas tong yang beris kayu bakar. Bumbu oles yang digunakan terdiri dari mentega dan kecap. Selain itu, nasi mentega juga disiapkan untuk menemani menu makan malam kami. lagu-lagu Iwan Fals berdendang malam itu. Gelas kecil yang berisi arak berputaran. Makanan sudah matang, semua orang menikmati meski harus bersiap dengan para anjing yang ikut kelaparan. Anggota Bhuana Giri yang bernama Brimob menjadi koki utama dalam perkemahan ini. Dia juga membuat sambal yang super pedas untuk dicocol bersama ikan. Semua orang lahap menikmati makanan. Beberapa sudah tidak dapat menahan kantuknya, masih pula ada yang terjaga dalam pengaruh alkohol. Malam itu berakhir dengan masing-masing dari kami mulai menuju tenda untuk tidur.
Minggu, 30 Juli 2017
Danau Tamblingan terlihat lebih indah ketika hari terang. Segalanya terlihat jelas. Pura yang berada di danau tampak jelas serta hari itu terdapat sepasang orang sedang melakukan foto pre-wedding. Pemandangan yang indah itu tidak akan dilewatkan; Monang mengambil gambar dengan kamera menggantung dilehernya. Pada mulanya, hanya Ansen yang meminta untuk difoto. Selanjutnya, Yusri juga ikut minta diambil gambarnya. Tak mau ketinggalan, Odi juga meminta untuk difoto menggunakan ponselnya sendiri.
Pedagang sate ayam sudah stand by di samping pondokan. Ia satu-satunya yang menjajakan dagangnya pagi itu. Sarapan pagi itu diiisi dengan sepiring sate dan lontong. Kami duduk di sebuah tikar dibawah pohon rindang. Lagi-lagi kami harus bersiap dengan gangguan anjing-anjing yang kelaparan. Maka kami harus makan dengan sedikit mengangkat piring agar posisinya jauh lebih tinggi dari moncong anjing sehingga tidak dapat diraih oleh anjing yang mendekati. Selesai makan, Fawaz datang dengan motor berpelat merah yang dipinjamnya dari tempat ia menginap. Ia berjalan mendekat lalu menyalami semua orang. Kami bertukar kabar saling menanyakan kedaan masing-masing. Fawaz duduk beralaskan sandal jepit hijau agar pantatnya tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Waktu itu, tikar yang dipakai tidak muat menampung dirinya. Kurang lebih selama satu jam kami berbincang. Fawaz mengakhiri pertemuan kali itu, ia pamit mengundurkan diri karena masih ada kegiatan yang harus dilakukan.
Tenda-tenda mulai dirubuhkan. Hari sudah mulai beranjak siang. Kami bersiap membereskan barang kemudian pergi. Sebagai dokumentasi, semua orang menuju tepi danau untuk berfoto bersama spanduk. Waktu itu kami juga berpamitan karena akan melanjutkan perjalanan kembali ke Jogja. Barang-barang dimasukan kedalam mobil. Satu persatu orang juga mulai mengatur dirinya di dalam mobil. Di perkampungan dekat danau, kami mampir pada sebuah rumah salah satu penduduk. Rumah tersebut milik seorang penjaga danau dan merupakan kenalan anggota Bhuana Giri. Setiap kali para anggota BG mendatangi danau, maka kami akan mengunjungi rumah tersebut. Penjaga sekaligus nelayan Danau Tamblingan adalah seorang pria paruh baya. Pada depan rumahnya terdapat sampan kayu yang diletakan terbalik. Segelas kopi dan pisang dikeluarkan dari dapur lalu disuguhkan pada tamunya. Percakapan dilakukan dalam Bahasa Bali. Ada yang tertidur karena terlalu lelah untuk memahami percakapan yang ada. Ada pula yang bermain ponsel selagi mencari-cari kegiatan. Pukul 13.00 WITA mobil APV meninggalkan rumah tersebut. Kali ini lokasi yang dituju adalah Terminal Ubung. Tak lupa kami juga harus mampir untuk mengambil carrier. Sekitar 2 jam kami sampai di tujuan lalu dengan segera mencari bus tujuan Gilimanuk. Odi harus bersiap dengan proses tawar-menawar agar mendapat harga yang sesuai. Harga yang disepakati dnegan kernet bus adalah Rp35.000,00 perorang. Menurut perkiraan Odi, malam kami baru sampai di Pelabuhan Gilimanuk dan benar pukul 20.20 WITA kami sampai.
Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kapal. Kami menuju loket pembelian tiket kapal feri. Pelabuhan yang dituju adalah Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Harga tiket perorang adalah Rp6.500,00. Sebelum menuju kapal, Yusri melakukan salat di musala yang ada di pelabuhan. Kapal yang digunakan bernama KMP Trisilla Bhakti II, meninggalkan pelabuhan pada pukul 21.09 WITA. Perjalanan dengan menggunakan kapal ditempuh dalam waktu sekitar 45 menit. Angin malam berhembus kencang, kapal sempat bergoyang karena gelombang laut. Kami akan memiliki makan malam setibanya di Banyuwangi. Dengan seporsi nasi bungkus cukup mengisi perut kami. Perjalanan dilanjutkan menuju Stasiun Banyuwangi Baru. Kereta yang kami tumpangi akan tiba pada pagi hari. Maka malam itu kami putuskan akan mengemper di stasiun berjejeran dengan penumpang yang lain. Ansen dan Rifqi memutuskan untuk tidak tidur malam itu. Kami berinisiatif untuk berjaga sambil memasak mie. Kami melakukan itu demi menjaga barang bawaan.
Senin, 31 Juli 2017
Kereta Sri Tanjung tiba di stasiun pada pukul 06.30 WIB. Satu per satu duduk sesuai dengan nomor tempat duduknya. Yusri, Ansen, dan Rifqi pada satu baris kursi yang sama berhadapan dengan kursi yang ditempati oleh Fauzia, Odi, dan Monang. Sebelumnya, Fauzia dan Rifqi sudah membeli bekal sarapan dan makan siang. Selama sekitar 13 jam kami akan melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta. Rangkaian perjalanan kami akan berakhir di Sekretariat Satu Bumi. Kereta akan tiba di Stasiun Lempuyangan pada pukul 19.25 WIB. Fauzia sudah menghubungi Ega untuk menjemput kami. Pada saat tiba di sekretariat, peserta SWADAYA XI disambut oleh makanan yang sudah dimasak oleh Ayu.